Isi buku ini menggambarkan narasi barat sebagai kebenaran, dan narasi Rusia sebagai “berita palsu.”
Melakukan hal itu mengaburkan fakta media arus utama barat pun tidak kebal terhadap penyebaran narasi yang dapat dianggap sebagai berita palsu atau propaganda perang.
Sementara itu, media Rusia sering menyediakan platform bagi mereka yang ingin mengekspresikan – atau mengakses – analisis perbedaan pendapat atau informasi yang berada di luar gelembung media barat.
Jelas, menurut Rachel Marsden, ada beberapa aspek demokrasi yang terganggu oleh ini.
Keinginan negara-negara barat memastikan warganya hanya diberi informasi yang mereka kendalikan, bukanlah hal baru.
Mungkin karena semakin otoriter agenda mereka, sentimen populis semakin meningkat dan memunculkan peristiwa seperti Brexit atau terpilihnya Donald Trump.
Juga semakin meningkatnya tren oposisi terhadap konflik yang didukung AS, kenaikan popularitas berbagai partai politik di Eropa.
Juga munculnya aksi demonstrasi menentang mandat pandemi, yang kebetulan dikaitkan kebijakan pelacakan berbasis QR yang dikeluarkan pemerintah.
Perbedaan pendapat adalah musuh ambisi otoriter. Gejala ini mulai terdeteksi dilakukan militer di Kanada, Inggris, dan Prancis.
Sekarang Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS terlibat pemolisian naratif warganya. Mereka berusaha memastikan kepatuhan warga negara atas agenda mereka sendiri.
Penggabungan isu keamanan domestik dan disinformasi terungkap pada awal 2016, ketika Parlemen Eropa secara aneh menggabungkan propaganda teroris Islam dengan media Rusia.
Ini tampak jelas sebagai propaganda melemahkan media Rusia dengan menyamakan dua hal yang sama sekali tidak berhubungan ini.
Satu per satu, pemerintah barat telah menempatkan kebebasan berbicara di bawah kendali keamanan nasional.
Prancis, misalnya, menyerahkan tanggung jawab untuk arbitrase informasi online kepada badan intelijen domestiknya (DGSI).