TRIBUNNEWS.COM, JENEWA - Cina menentang dan memveto resolusi Dewan Hak Asasi Manusia PBB atas kemungkinan penyelidikan kejahatan perang Rusia di Ukraina.
Selain Cina, yang terbuka menentang resolusi ini adalah Eritrea. Sebanyak 32 anggota Dewan HAM PBB seperti daftar yang dirilis menyatakan setuju, termasuk Indonesia.
Sementara 12 anggota lainnya abstain. Cina menyatakan resolusi yang bisa memberi kewenangan penyelidikan tersebut bermotif politik.
“Kami telah mencatat dalam beberapa tahun terakhir politisasi dan konfrontasi di (dewan) telah meningkat, yang telah sangat mempengaruhi kredibilitas, ketidakberpihakan dan solidaritas,” kata Chen Xu, diplomat tinggi Cina di kantor PBB di Jenewa.
Cuitan yang diposting akun Twitter UN Human Right Council, Kamis (12/5/2022) waktu setempat, menginformasikan hasil pemungutan suara di Jenewa itu.
Baca juga: PBB: Lebih dari 6 Juta Pengungsi Tinggalkan Ukraina Sejak Awal Invasi Rusia
Baca juga: PBB Peringatkan Afrika Hadapi Krisis Disebabkan oleh Invasi Rusia ke Ukraina, Harga Makanan Melonjak
Chen membuat komentarnya sebelum Dewan HAM PBB memberikan suara pada Kamis, hasilnya 33-2 suara dan 12 anggota abstain.
Eritrea adalah satu-satunya negara anggota yang memilih tidak selain Cina. Anggota yang tidak hadir antara lain Armenia, Bolivia, Kamerun, Kuba, India, Kazakhstan, Namibia, Pakistan, Senegal, Sudan, Uzbekistan, dan Venezuela.
Rancangan resolusi ini hanya memberi mandat investigasi mencakup tuduhan terhadap Rusia, bukan kejahatan yang diduga dilakukan pasukan Ukraina.
Juga hanya fokus peristiwa di wilayah Kiev, Chernigov, Kharkov dan Sumy di Ukraina pada akhir Februari dan awal Maret.
Draft resolusi menyebutkan maksud penyelidikan untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas peristiwa dimaksud di wilayah itu.
Ukraina menuduh Rusia melakukan pelanggaran HAM berat di daerah-daerah yang berada di bawah kendali Rusia pada awal konflik, yang dimulai 24 Februari.
Wakil Menlu Ukraina, Emine Dzheppar, kepada Dewan HAM PBB mengklaim Ukraina mengalami pelanggaran hak asasi manusia paling mengerikan di benua Eropa dalam beberapa decade.
Duta Besar Moskow untuk PBB di Jenewa, Gennady Gatilov, berpendapat barat secara kolektif mengorganisir kekalahan politik mereka menjelekkan Rusia.
Mereka menurut Gatilov tidak mengatasi penyebab sebenarnya dari krisis Ukraina dan mencari cara untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Majelis Umum PBB bulan lalu menangguhkan Rusia dari Dewan Hak Asasi Manusia. Cina juga memberikan suara menentang dalam kasus itu, tetapi abstain pada resolusi terkait Ukraina lainnya.
Termasuk kecaman Majelis Umum atas serangan militer Rusia dan teguran Dewan Keamanan PBB terhadap Moskow.
Berbicara pada pertemuan Dewan Keamanan pada Kamis di New York, Wakil Duta Besar Cina untuk PBB, Dai Bing, berpendapat sanksi anti-Rusia akan menjadi bumerang.
“Sanksi tidak akan membawa perdamaian tetapi hanya akan mempercepat limpahan krisis, memicu krisis pangan, energi, dan keuangan di seluruh dunia,” katanya.
Rusia menyerang Ukraina menyusul kegagalan Kiev untuk menerapkan ketentuan perjanjian Minsk, yang pertama kali ditandatangani pada 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass, Donetsk dan Lugansk.
Protokol Minsk yang ditengahi Jerman dan Perancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim mereka berencana untuk merebut kembali kedua republik secara paksa.(Tribunnews.com/RussiaToday/xna)