TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW – Analis geopolitik dan kolumnis Paul Antonopoulos mengatakan, saat ini hanya petempur yang benar-benar ideolog yang masih berani bertempur di Ukraina.
Ia juga menyebut hanya orang-orang yang rasis dan ekstremis paling Russophobia yang sanggup bertahan melawan pasukan Rusia yang terlatih baik.
Ulasan ini ditulis panjang lebar oleh Paul Antonopoulos di laman analis intelijen Southfront.org, Rabu (25/5/2022).
Ia menyimpulkan berdasar situasi lapangan, kesaksian legion asing yang tertangkap atau menyerah di Ukraina.
Berikut ini artikel yang ditulis ini Antonopoulos, dialihbahasakan dengan penyesuaian tetap sesuai konteks pesan yang disampaikan penulis.
Menurut Antonopoulos, selama ini media arus utama barat membombardir public lewat narasi Ukraina yang bebas sedang berjuang melawan Rusia yang otoriter untuk mempertahankan demokrasinya.
Baca juga: Wawancara Scott Ritter: Penguasaan Azovstal Kemenangan Mengesankan Rusia
Baca juga: Curhat Komandan Batalyon Azov di Azovstal yang Terkepung Pasukan Rusia
Baca juga: Ukraina Tangkapi Para Prajuritnya di Severedonetsk yang Ancam Menyerah
Pasukan ultra-nasionalis sayap kanan Ukraina, termasuk batalyon neo-Nazi, telah dinormalisasi dan dianggap penting hingga ribuan orang asing membanjiri Ukraina untuk berperang.
Banyak dari orang asing ini tidak memiliki pelatihan dan pengalaman militer yang layak. Karenanya, mereka tidak dapat bertarung secara baik.
Para komandan militer Ukraina mengeluh tentang mereka, karena mereka tidak berguna membantu pertempuran.
Untuk alasan ini, mereka dikerahkan ke titik pertempuran terberat, termasuk Donbass, dan akibatnya mereka tak bisa bertahan lama.
Pasukan Rusia yang mereka lawan sangat professional. Pada 16 April, menurut data dari Republik Rakyat Donetsk, ada sekitar 6.800 pejuang asing dari 63 negara.
Seribuan Petempur Asing Tewas
Dari jumlah tersebut, lebih dari 1.000 pejuang asing tewas dan lebih dari 900 melarikan diri dari Ukraina.
Para petempur asing itu ada 1.800 dari Polandia, masing-masing sekitar 500 dari AS, Kanada dan Rumania, masing-masing 300 dari Inggris dan Georgia, 127 dari Prancis, dan 50 dari Jerman.