Pada akhir 2019, Sri Lanka memiliki cadangan mata uang asing sebesar $7,6 miliar (£5,8 miliar).
Pada Maret 2020, cadangannya menyusut menjadi $1,93 miliar (£1,5 miliar).
Kemudian, pada Mei 2022 pemerintah mengatakan angka ini turun menjadi hanya $50 juta (£40.5m).
Pemotongan Pajak Besar
Pemerintah juga memiliki utang besar dengan negara-negara termasuk China, untuk mendanai apa yang disebut para kritikus sebagai proyek infrastruktur yang tidak perlu.
Sri Lanka berutang $6,5 miliar ke China dan keduanya sedang dalam pembicaraan tentang bagaimana merestrukturisasi utang.
Presiden Sri Lanka, Rajapaksa telah dikritik karena pemotongan pajak besar yang dia perkenalkan pada 2019, setelah ia berkuasa.
Akibat pemotongan pajak tersebut, Sri Lanka kehilangan pendapatan pemerintah lebih dari $1,4 miliar (£ 1,13bn) per tahun, menurut Menteri Keuangan Sri Lanka, Ali Sabry.
Baca juga: Pendapatan Masyarakat yang Menurun Memicu Penurunan Permintaan Minuman Beralkohol di Sri Lanka
Kegagalan Panen yang Meluas
Pada tahun 2021, Sri Lanka mulai kekurangan mata uang asing dan menjadi masalah serius.
Pemerintah mencoba membatasi arus keluar dengan melarang impor pupuk kimia.
Rajapaksa menyuruh petani untuk menggunakan pupuk organik yang bersumber secara lokal.
Hal ini menyebabkan gagal panen yang meluas dan Sri Lanka tidak dapat mengekspor hasil pertaniannya.
Kegagalan panen ini berdampak besar pada perekonomian Sri Lanka karena mengekspor hasil pertanian adalah salah satu sumber pendapatan Sri Lanka.