TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas memandang lawatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Ukraina dan Rusia dapat dimaknai sejumlah hal di antaranya terkait perhelatan G-20.
Sebagai pemegang Presidensi G-20, kata Anton Aliabbas , apa yang dilakukan Jokowi tentu harus banyak melakukan inisiatif dan pendekatan dengan banyak pihak agar acara tersebut bisa berjalan lancar.
Ancaman walkout atas penentangan terhadap Rusia ataupun ketidakhadiran (empty chair) Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pertemuan puncak G-20, kata dia, tentu sedikit banyak dapat berpengaruh terhadap kredibilitas Indonesia maupun juga keputusan yang akan dihasilkan.
"Karena itu, kunjungan ini juga tidak bisa dilepaskan dari upaya melancarkan perhelatan G-20," kata Anton pada Kamis (30/6/2022).
Selain itu, kata Anton, Jokowi juga ingin meninggalkan warisan yang baik dalam sejarah kepresidenan Indonesia.
Menurutnya Jokowi ingin juga menorehkan sejarah sebagai pemimpin bangsa yang ikut andil dalam mendamaikan konflik antar negara.
Meski dalam 5 tahun periode awal pemerintahannya Jokowi lebih banyak menghabiskan kepemimpinannya dalam penguatan diplomasi bilateral, akan tetapi menurut Anton pola tersebut dikembangkan pada periode kedua dengan meningkatkan aktivitas pelaksanaan politik luar negeri dalam forum multilateral.
"Dan kunjungan ke Ukraina dan Rusia ini merupakan bentuk nyata dari pelaksanaan amanat pembukaan UUD 1945 yakni ikut serta dalam menjaga perdamaian dunia," kata dia.
Langkah yang dilakukan Jokowi dengan mendatangi Kyiv dan bertemu Presiden Ukraina Zelensky, kata Anton, tidaklah bebas risiko.
Sebab, lanjut dia, perang masih berlangsung dan belum ada tanda-tanda akan berhenti.
"Apalagi, Rusia masih aktif melakukan serangan ke sejumlah tempat," kata Anton.
Apa yang dilakukan Jokowi mendatangi dua negara bertikai, kata dia, tentu saja merupakan rangkaian dari upaya untuk menengahi konflik tersebut.
Menurutnya sikap imparsialitas yang ditunjukkan Jokowi dengan aktif menemui dua pemimpin bertikai memang dibutuhkan oleh pihak yang menawari diri sebagai potensial mediator.
Karena dengan begitu, lanjut dia, ide-ide awal yang diungkapkan para pemimpin bertikai dapat diolah untuk menjadi tawaran agenda perundingan perdamaian.
Sekalipun secara kekuatan politik relatif, Indonesia masih kalah dari Rusia, akan tetapi menurutnya Indonesia tetap mempunyai peluang untuk menjadi mediator dan salah satu titik kuncinya adalah penerimaan dari dua pihak yang bertikai.
Sikap pemimpin Ukraina dan Rusia yang menerima kunjungan Jokowi, kata dia, merupakan signal awal penerimaan Indonesia sebagai potensial mediator.
Walaupun sebenarnya, lanjut dia, posisi Jokowi juga tidak dapat dipisahkan sebagai anggota Champion Group of the Global Crisis Response Group (GCRG) yang dipimpin Sekjen PBB Antonio Gutteres.
"Bersama lima pemimpin dunia lainnya yaitu, Presiden Senegal, Kanselir Jerman, Perdana Menteri Barbados, Perdana Menteri Denmark, dan Perdana Menteri Bangladesh, GCRG memang mencoba untuk mendorong konsensus global serta melakukan advokasi solusi guna atasi krisis pangan, energi dan keuangan global," kata dia.
Baca juga: Usai Bertemu Vladimir Putin, Presiden Jokowi Bertolak ke Abu Dhabi
Perihal apakah saat ini momen yang tepat untuk mendorong adanya perundingan damai, menurutnya sejauh ini, baik Rusia maupun Ukraina belum berada pada posisi hurting stalemate dimana eskalasi konflik tinggi sehingga keduanya sama-sama merasa lelah dengan konflik bersenjata.
Di sisi lain, kata dia, ripe moment atau masa yang 'matang' untuk memaksa kedua belah pihak duduk di meja perundingan juga belum terbentuk.
Meski demikian, kata Anton, peluang untuk terjadinya perundingan damai tetap dapat terjadi.
"Dan, salah satunya adalah melalui pendekatan yang intensif kepada para pihak bertikai untuk mau duduk berunding. Dan Jokowi punya kans untuk memainkan peranan itu. Tinggal sejauh mana kesiapan dan keseriusan Indonesia untuk menawarkan diri sebagai mediator perundingan damai," kata Anton.