"Untuk itu, kami telah menerapkan rencana untuk membatasi pencetakan uang di masa depan," jelas Wickremesinghe.
Namun, kata dia, pada 2023 pemerintah harus mencetak uang dengan pembatasan pada beberapa kesempatan.
"Tetapi pada akhir 2024, kami berniat untuk berhenti mencetak uang sepenuhnya," tutur Wickremesinghe.
Wickremesinghe juga mencatat bahwa bank-bank negara telah dihantam dari berbagai sisi, seperti krisis ekonomi dan sejumlah besar pinjaman yang mereka berikan kepada perusahaan negara.
"Per 31 Maret 2021, SriLankan Airlines berutang 541 miliar rupee Sri lanka. Lalu per 31 Mei 2022, Dewan Listrik berutang 418 miliar rupee Sri Lanka dan Petroleum Corporation berutang 1,46 triliun rupee Sri Lanka," kata Wickremesinghe.
Ia menambahkan bahwa saat perusahaan publik terus mengalami kerugian, seluruh rakyat menderita.
"Orang-orang yang tidak pernah bepergian dengan pesawat seumur hidup mereka, menderita karena kehilangan SriLankan Airlines. Orang-orang yang telah membayar uang untuk bahan bakar sepanjang hidup mereka, menderita karena kehilangan perusahaan minyak. Setelah berjam-jam, berhari-hari menunggu dalam antrian untuk mendapatkan bahan bakar, mereka membayar kompensasi kepada perusahaan minyak untuk menutupi kerugian perusahaan," jelas Wickremesinghe.
Sementara itu, orang-orang yang mendapatkan listrik dengan membayar uang sepanjang hidup mereka, duduk dalam kegelapan selama beberapa jam sehari dan menderita kehilangan listrik.