TRIBUNNEWS.COM, JEPANG - Penembakan Mantan Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe masih menyisakan banyak tanda tanya bagi publik.
Bagaimana mungkin Jepang yang selama ini dikenal negara teraman di dunia dan sangat jarang dijumpai tindakan kriminal bisa terjadi sebuah pembunuhan di muka umum.
Apalagi pembunuhan terhadap seorang tokoh dunia yang dilakukan oleh warga biasa dan bukan pembunuh bayaran.
Tetsuya Yamagami, pria yang menembak Shinzo Abe hingga tewas ini pun, jadi sorotan.
Baca juga: Analis Jepang Kritisi Senjata Rakitan yang Menewaskan Mantan PM Shinzo Abe
Terbaru, rekan kerja Tetsuya Yamagami memberikan kesaksian mengenai sosok si pembunuh.
Di kalangan rekan kerjanya, Tetsuya Yamagami dikenal orang yang benar-benar biasa.
Seorang temannya bahkan tidak percaya bahwa Yamagami bisa menembak Shinzo Abe hingga tewas.
Seorang mantan rekan kerjanya di pabrik Prefektur Kyoto menggambarkan Yamagami sebagai orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh.
Diketahui Yamagami baru-baru bekerja selama lebih dari satu setengah tahun di pabrik itu,
Namun kemudian dia terlibat pertengkaran di perusahaan dan tidak hadir secara tidak sah sehingga meninggalkan perusahaan.
Pada konferensi pers hari Sabtu (9/7/2022), seorang karyawan senior di pabrik mengatakan Yamagami dipekerjakan melalui agen pengiriman pada Oktober 2020 dan ditugaskan ke departemen pengiriman barang.
Sebagai pemegang surat izin mengemudi forklift, ia bertugas mengangkut barang.
“Jika itu pembicaraan tentang pekerjaan, dia akan merespons, tetapi dia tidak terbuka tentang kehidupan pribadinya. Dia tampak sopan,” kata mantan rekan kerjanya seperti dikutip dari The Japan Times.
Dia menambahkan bahwa Yamagami biasa makan siang sendirian di mobilnya dan bahwa percakapan dengannya tidak pernah menyimpang dari topik yang ada.
Selama enam bulan pertama, Yamagami tidak memiliki masalah di kantor.
Namun retakan mulai muncul ketika dia dianggap mengabaikan praktik kerja secara bertahap dan membuatnya diperingatkan oleh rekan kerja.
Awal tahun ini, sebuah perusahaan transportasi mendesaknya untuk mematuhi prosedur standar mereka dalam menggunakan bahan bantalan untuk melindungi barang yang dibawa, tetapi Yamagami dilaporkan berpendapat bahwa tidak ada yang salah dengan cara dia melakukannya.
Perusahaan kemudian mengajukan permintaan untuk pemindahannya dari peran tersebut.
Staf lama juga mengkritik cara kerjanya, yang terkadang ditanggapi oleh Yamagami secara konfrontatif.
Meskipun sebelumnya tidak ada masalah dengan ketepatan waktu atau kehadiran, ia mulai mengambil cuti tanpa izin mulai bulan Maret dan mengeluhkan “masalah jantung” serta masalah fisik lainnya.
Dia menggunakan semua cuti dan pekerjaannya berakhir pada 15 Mei.
Kurang dari dua bulan kemudian, Yamagami, yang sebelumnya bertugas selama sekitar tiga tahun di Pasukan Bela Diri Maritim, ditangkap atas pembunuhan perdana menteri terlama di Jepang.
Berbicara kepada media, mantan rekannya hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya dan mengutuk tindakan Yamagami.
“Ada masalah di tempat kerja atas apa yang dia lakukan, tetapi tidak pernah sekalipun itu berubah menjadi kekerasan. Dia sepertinya bukan tipe orang yang melakukan hal besar seperti ini," katanya.
Karyawan perusahaan pengirim yang awalnya mewawancarai Yamagami kemudian menyampaikan berita bahwa pekerjaannya diberhentikan.
Karyawan tersebut menggambarkan tersangka sebagai seseorang yang tidak banyak bicara dan memiliki perasaan yang sedikit muram. Tapi selebihnya, tidak ada yang terlihat aneh atau mencurigakan dari perilakunya.
Motif Pembunuhan
Motif pembunuhan eks Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Prefektur Nara, Jumat (8/7/2022) lalu terungkap.
Tersangka pembunuh Abe, Tetsuya Yamagami, telah memberikan pernyataan yang dimuat media.
Gendai Business memberitakan konten pernyataan Yamagami yang diklaimnya urung diberitakan media-media arus utama.
Sebelumnya, keterangan polisi yang dikutip media sebatas memberitakan bahwa Yamagami dendam dengan suatu “kelompok keagamaan”, tetapi enggan menyebutkan identitas kelompok tersebut.
“Saya mencoba menargetkan seorang anggota suatu kelompok agama, tetapi saya pikir itu terlalu sulit, jadi saya menembak mantan Perdana Menteri Shinzo Abe,” demikian pernyataan Yamagami yang dikutip media-media Jepang.
Gendai Business kemudian menyoroti pernyataan lengkap Yamagami dan menemukan bahwa kelompok keagamaan yang dimaksud adalah Gereja Unifikasi.
Gereja Unifikasi adalah gerakan keagamaan yang didirikan oleh Sun Myung Moon, pemimpin religius asal Korea Selatan yang mengaku-aku sebagai juru selamat.
Sepak terjang Gereja Unifikasi cukup kontroversial baik di Korea Selatan atau Jepang. Dulu, sebagian kalangan menganggapnya sebagai kultus yang berbahaya.
Menurut laporan Gendai Business, Yamagami menyatakan bahwa ia mengincar Abe karena sang politikus dekat dengan Gereja Unifikasi. Ibu Yamagami disebut sebagai salah satu jemaah gereja tersebut dan hal ini memengaruhi kehidupannya.
“Saya menembak (Shinzo Abe) karena ibu saya adalah jemaah Gereja Unifikasi dan Shinzo Abe dekat dengan Gereja Unifikasi,” kata Yamagami.
Hubungan Shinzo Abe dengan kultus Gereja Unifikasi
Shinzo Abe dikenal dekat dengan Gereja Unifikasi serta organisasi-organisasi sayapnya. Pria yang dikenal dengan kebijakan “Abenomics” itu juga diketahui pernah hadir di acara Gereja Unifikasi dan menyanjung gerakan tersebut.
Ikatan Abe dengan Gereja Unifikasi pun bisa dilacak ke keluarganya. Kakek Abe sekaligus mantan perdana menteri Jepang, Nobusuke Kishi, dan sang ayah, Shintaro Abe, dikenal punya ikatan dengan Gereja Unifikasi.
Salah satu organisasi sayap Gereja Unifikasi yang terkait dengan Shinzo Abe adalah Federasi Internasional untuk Persatuan dan Kemenangan.
Organisasi politik ini dibentuk pada 1968 dan disebut-sebut dikenal dekat dengan anggota-anggota Partai Liberal Demokrat (LDP), platform politik Shinzo Abe dan perdana menteri Jepang saat ini, Fumio Kishida.
Hubungan Abe dengan Gereja Unifikasi disebut sejak lama menjadi rahasia umum di kalangan pemerintah Jepang. Bahkan, hubungan itu diduga memengaruhi pemilihan anggota dewan.
Sumber: The Japan Times/Gendai Business/Kompas.TV