TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, timur bisa setara barat, seiring berakhirnya dominasi global AS dan sekutunya.
Hl ini dikemukakan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Situs Russia Today mengutip pernyataan itu, Minggu (17/7/2022).
Karena efek pandemi Covid-19 dan konflik di Ukraina, untuk sebagian besar populasi barat, standar hidup mengalami stagnasi.
Blair mengemukakan kesimpulannya dalam kuliah tahunannya di Ditchley Foundation, Inggris.
Politik barat sedang kacau – lebih partisan, jelek, tidak produktif; dan didorong media sosial yang memengaruhi urusan domestik dan internasional.
Baca juga: Negara G-7 Ingin Bentuk Kartel Migas, Cina Genjot Impor Energi dari Rusia,
Baca juga: Bachelet Nyatakan ke Xinjiang Bebas Terbuka dan Tak Diatur Pemerintah Cina
Baca juga: Peneliti Inggris Beber Modus Propaganda Hitam London Serang Rusia dan Cina
Blair menambahkan, atas alasan operasi militer Rusia di Ukraina, maka barat merasa harus menjadi titik poros yang menghidupkan kembali misi mereka.
Namun, menurut pria berusia 69 tahun, yang memimpin pemerintah Inggris dari 1997 hingga 2007, perubahan geopolitik terbesar abad ini akan datang dari Cina, bukan Rusia.
“Kita akan segera mengakhiri dominasi politik dan ekonomi barat. Dunia setidaknya akan menjadi bi-polar dan mungkin multi-polar,” prediksinya.
Cina, yang sudah menjadi negara adikuasa kedua di dunia, akan bersaing dengan barat tidak hanya kekuasaan tetapi juga melawan sistem, cara memerintah dan hidup barat.
Politisi Partai Buruh itu memperingatkan, Beijing tidak akan sendirian. “Cina akan memiliki sekutu. Rusia sekarang pasti. Mungkin Iran,” tambahnya.
“Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah modern bahwa timur bisa setara barat,” tambahnya.
Mantan perdana menteri itu mengatakan peristiwa di Ukraina telah memperjelas barat tidak dapat mengandalkan kepemimpinan Cina untuk berperilaku dengan cara yang kita anggap rasional.
“Jangan salah paham. Saya tidak mengatakan dalam waktu dekat Cina akan berusaha mengambil (pulau yang diperintah sendiri) Taiwan dengan paksa. Tetapi kami tidak dapat mendasarkan kebijakan kami pada kepastian itu tidak akan terjadi.”
Agar tetap relevan di lingkungan baru, barat perlu mengembangkan strategi bersama, koordinasi, komitmen dan kompetensi.
Pengeluaran pertahanan lebih tinggi untuk mempertahankan superioritas militer sambil memperluas apa yang disebut “kekuatan lunak” membangun hubungan dengan negara-negara berkembang.
Beberapa waktu lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin juga sudah memperingatkan, tata dunia tidak akan kembali lagi seperti sebelum konflik Ukraina pecah.
“Mereka yang percaya keadaan akan kembali seperti semula sebelum pecahnya konflik di Ukraina adalah salah,” kata Vladimir Putin.
“Adalah kesalahan untuk menyarankan bahwa masa-masa perubahan yang bergejolak dapat ditunggu dan semuanya akan kembali normal; bahwa semuanya akan seperti apa adanya. Tidak akan," tegas Putin di Forum Ekonomi Internasional Saint Petersburg (SPIEF).
“Perubahan yang sedang dialami dunia saat ini bersifat fundamental, radikal, dan tidak dapat diubah,” tambahnya.
Namun, elite penguasa di beberapa negara barat menolak untuk memperhatikan perubahan yang jelas ini dan memilih untuk berpegang teguh pada bayang-bayang masa lalu.
“Misalnya, mereka percaya dominasi barat dalam politik dan ekonomi global adalah nilai yang konstan dan abadi,” kata Putin. Tapi “tidak ada yang abadi,” dia mengingatkan semua orang.
Sejak mengklaim kemenangan dalam Perang Dingin pada awal 1990-an, AS telah "mendeklarasikan dirinya sebagai utusan Tuhan di Bumi, yang tidak memiliki kewajiban, tetapi hanya kepentingan, dan kepentingan itu dinyatakan suci," kata Putin.
Namun, gagasan tentang dunia unipolar pada intinya cacat, menurut pemimpin Rusia itu, karena norma-norma hubungan internasional tidak selalu dapat ditafsirkan untuk mendukung satu negara, “bahkan jika itu adalah negara yang kuat.”
Tampaknya Washington menolak untuk melihat pusat kekuasaan baru yang muncul dalam beberapa dekade terakhir.
“Kekuasaan yang memiliki hak untuk melindungi kepentingan mereka dan memastikan kedaulatan nasional mereka," kata Putin.
Barat yang dipimpin Amerika kini tengah berusaha memperbaiki hubungan dan pengaruhnya. Presiden AS Joe Biden melakukan lawatan ke Timur Tengah dan secara khusus ke Saudi Arabia.
Biden memastikan dukungan ke Israel, sekaligus ingin mempengaruhi Saudi Arabia dalam beberapa pokok isu, terutama energi.
AS berusaha mendorong Saudi meningkatkan kapasitas produksi minyak, menyusul sanksi-sanksi barat yang berdampak pada masalah pasokan energi migas dari Rusia.
AS juga terus menekan India agar mengurangi impor minyaknya dari Rusia. Namun sejauh ini, usaha itu belum menunjukkan hasil signifikan.
Negara-negara Eropa sekutu AS semakin tertekan dan menghadapi problem serius menyusul terhentinya pasokan minyak dan gas dari Rusia.
Nyaris semua negara yang ikut menjatuhkan sanksi bertubi-tubi ke Rusia menghadapi masalah resesi ekonomi yang kian dalam.(Tribunnews.com/RT/xna)