Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Parlemen Sri Lanka kembali memperpanjang keadaan darurat sebagaimana yang telah diumumkan oleh Presiden Ranil Wickremesinghe.
Para demonstran terus melakukan aksi kekerasan mendesak pemerintahan baru agar segera membawa Sri Lanka keluar dari krisis ekonomi.
Pekan lalu, Ranil Wickremesinghe telah mengumumkan keadaan darurat di ibukota Sri Lanka, Kolombo untuk mengantisipasi kericuhan dalam pemilihan presiden baru setelah Gotabaya Rajapaksa mengundurkan diri sebagai presiden Sri Lanka kala itu.
Baca juga: Singapura Perpanjang Masa Tinggal Mantan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa
Namun, partai-partai oposisi justru mengkritik keadaan darurat yang diumumkan oleh Wickremesinghe dalam upaya untuk meredam perbedaan pendapat.
Dikutip dari Aljazeera, Kamis (28/7/2022) sehari setelah terpilihnya Wickremesinghe sebagai presiden baru Sri Lanka, militer menyerbu dan membongkar kamp-kamp yang telah didirikan para pengunjuk rasa selama lebih dari 100 hari di seberang kantor presiden, beberapa pengunjuk rasa juga dipukuli.
Pihak kepolisian Sri Lanka mengatakan dalam pernyataan terpisah pada hari Rabu (27/7/2022) bahwa mereka telah menangkap aktivis Kusal Sandaruwan dan Weranga Pushpika atas tuduhan pertemuan yang melanggar hukum.
Sementara itu, seorang aktivis lainnya bernama Dhaniz Ali juga ditangkap ketika dia menaiki sebuah pesawat untuk menuju ke Dubai pada Selasa (26/7) malam.
Polisi mengatakan, ada surat perintah atas penangkapan Dhaniz Ali sehubungan dengan kasus pengadilan hakim, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Krisis Ekonomi Sri Lanka
Sri Lanka, negara yang berpenduduk sekitar 22 juta jiwa telah dilanda krisis ekonomi terburuk dalam beberapa bulan terakhir.
Sri Lanka dihadapkan pada kekurangan bahan bakar, makanan dan obat-obatan. Krisis itu semakin diperparah oleh pinjaman dalam jumlah besar yang tidak mampu dibayarkan oleh negara itu.
Akibat krisis itu, Sri Lanka memilih untuk menangguhkan pembayaran pinjaman luar negerinya senilai 51 miliar dolar AS, di mana 28 miliar dolar AS harus dibayar pada tahun 2027.
Baca juga: Potret Kelam Krisis Sri Lanka: Kekurangan Makanan hingga Rumah Sakit yang Nyaris Tak Bisa Beroperasi
Di sisi lain, Pemerintah Sri Lanka sedang mempersiapkan rencana restrukturisasi utang, sebagai syarat kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk bailout.