TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pandemi Covid-19 yang melanda hampir semua negara di dunia selama kurun waktu kurang lebih dua tahun telah menganggu perekonomian.
Tak terkecuali negara-negara di benua Eropa.
Tahun 2022 ketika pandemi mulai surut, harapan akan perbaikan ekonomi mulai muncul.
Namun seketika sirna menjadi tahun yang suram seperti laporan Straits Times, Selasa (23/8/2022).
Euforia belanja pascapandemi, didukung oleh belanja pemerintah yang berlebihan sudah siap menghentak demi mendorong ekonomi dan membantu rumah tangga yang kelelahan dan merindukan kenormalan setelah dua tahun yang mengerikan.
Baca juga: Rusia Peringatkan Harga Gas Eropa Bisa Melonjak 60 Persen, Jerman Langsung Amankan Pasokan LNG
Tapi semua itu berubah pada 24 Februari 2022 lalu dengan serangan Rusia ke Ukraina.
Normalitas hilang dan krisis menjadi permanen.
Resesi sudah mengintip di balik pintu.
Inflasi (diantaranya dengan kenaikan harga barang dan jasa) mendekati dua digit dan musim dingin dengan ancaman kekurangan energi dengan cepat makin mendekat.
Suram, prospek ini masih cenderung memburuk sebelum ada peningkatan signifikan hingga tahun 2023.
"Krisis adalah hal normal yang baru," kata Alexandre Bompard, Kepala Eksekutif pengecer Carrefour.
"Apa yang biasa kita lakukan dalam beberapa dekade terakhir, inflasi rendah, perdagangan internasional, sudah berakhir," katanya kepada investor.
Perubahannya dramatis.
Setahun yang lalu sebagian besar peramal memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2022 mendekati 5 persen.
Sekarang resesi musim dingin menjadi masalah paling mendasar.
Rumah tangga dan bisnis sama-sama menderita karena dampak perang, harga pangan dan energi yang tinggi, sekarang diperburuk oleh kekeringan yang menghancurkan dan permukaan sungai yang rendah sehingga membatasi transportasi arus barang.
Pada angka 9 persen, inflasi di kawasan euro berada pada tingkat yang belum pernah terjadi dalam setengah abad terakhir, menghajar daya beli, dimana uang yang tersisa digunakan untuk belanja bahan bakar, gas alam, dan makanan pokok.
Penjualan eceran sudah amblas, berbulan-bulan sebelum musim panas dimulai karena pembeli mengurangi pembelian mereka.
Pada bulan Juni, volume penjualan ritel turun hampir 4 persen dari tahun sebelumnya, dipimpin oleh penurunan 9 persen yang tercatat di Jerman.
Konsumen beralih ke toko diskon dan melupakan produk kelas atas. Mereka juga mulai melupakan pembelian tertentu.
"Hidup menjadi lebih mahal dan konsumen enggan untuk mengkonsumsi," kata Robert Gentz, co-CEO pengecer Jerman Zalando, kepada wartawan.
Bisnis sejauh ini mengatasi dengan baik berkat kekuatan harga yang luar biasa karena kendala pasokan yang terus-menerus.
Tetapi sektor-sektor intensif energi babak belur dan merana.
Hampir setengah dari kapasitas peleburan aluminium dan seng Eropa sudah tidak beroperasi sementara banyak produksi pupuk, yang bergantung pada gas alam, kini tutup.
Pariwisata menjadi titik terang yang langka kareba sebagian orang ingin menghabiskan akumulasi tabungan dan menikmati musim panas pertama mereka tanpa kekhawatiran sejak 2019.
Tetapi bahkan sektor perjalanan dilumpuhkan oleh kapasitas dan kekurangan tenaga kerja karena pekerja yang diberhentikan selama pandemi enggan untuk kembali bekerja.
Bandara utama seperti Frankfurt dan London Heathrow terpaksa membatasi penerbangan hanya karena mereka kekurangan staf untuk memproses penumpang.
Di Schiphol Amsterdam, waktu tunggu bisa mencapai empat atau lima jam musim panas ini.
Maskapai juga tidak bisa mengatasi masalah itu.
Lufthansa Jerman harus menerbitkan permintaan maaf kepada pelanggan atas kekacauan itu, mengakui bahwa itu tidak mungkin mereda dalam waktu dekat.
Rasa sakit itu kemungkinan akan meningkat, terutama jika Rusia memangkas ekspor gas lebih lanjut.
"Dampak kejut gas hari ini jauh lebih besar; hampir dua kali lipat kejutan yang kita alami di tahun 70-an dengan minyak," kata Caroline Bain dari Capital Economics.
"Kami melihat peningkatan 10 hingga 11 kali lipat harga spot gas alam di Eropa selama dua tahun terakhir."
Sementara Uni Eropa mengumumkan rencana untuk mempercepat transisinya ke energi terbarukan dan menghentikan impor gas Rusia pada tahun 2027, membuat Eropa lebih tangguh dalam jangka panjang, namun kekurangan pasokan saat ini memaksa Uni Eropa mencari cara untuk menekan hingga 15 persen konsumsi gas tahun ini.
Tapi kemandirian energi datang dengan biaya.
Bagi orang biasa itu akan berarti rumah dan kantor yang lebih dingin untuk jangka pendek.
Jerman misalnya ingin ruang publik dipanaskan hanya sampai 19 derajat C musim dingin ini dibandingkan dengan sekitar 22 derajat C sebelumnya.
Lebih jauh, itu akan berarti biaya energi yang lebih tinggi yang artinya inflasi, karena Uni Eropa harus menyerahkan pasokan energi terbesar dan termurahnya.
Untuk bisnis, itu berarti produksi yang lebih rendah, yang memakan lebih jauh ke dalam pertumbuhan, terutama di industri.
Harga gas grosiran di Jerman, ekonomi terbesar blok itu, naik lima kali lipat dalam setahun tetapi konsumen dilindungi oleh kontrak jangka panjang, sehingga dampaknya sejauh ini jauh lebih kecil.
Namun, mereka harus membayar retribusi yang diamanatkan pemerintah dan begitu kontrak bergulir, harga akan melonjak, menunjukkan bahwa dampaknya hanya tertunda, sehingga memberikan tekanan terus-menerus pada inflasi.
Itulah sebabnya banyak jika bukan sebagian besar ekonom melihat Jerman dan Italia, ekonomi nomor satu dan empat Eropa yang sangat bergantung pada gas, segera jatuh ke dalam resesi.
Resesi di Amerika Serikat juga mungkin terjadi, namun musababnya sangat berbeda.
Berjuang dengan pasar tenaga kerja yang panas dan pertumbuhan upah yang cepat, Federal Reserve AS menaikkan suku bunga dengan cepat dan memperjelas bahwa pihaknya bersedia mengambil risiko bahkan resesi untuk menjinakkan pertumbuhan harga.
Sebaliknya, Bank Sentral Eropa (ECB) hanya menaikkan suku bunga sekali, kembali ke nol, dan hanya akan bergerak dengan hati-hati, mengingat bahwa menaikkan biaya pinjaman negara-negara zona euro yang berhutang banyak, seperti Italia, Spanyol dan Yunani dapat memicu kekhawatiran tentang kemampuan mereka untuk tetap membayar hutang mereka.
Tapi Eropa akan masuk ke dalam resesi dengan beberapa kekuatan.
Ketenagakerjaan mencapai rekor tertinggi dan sektor usaha berjuang dengan meningkatnya kelangkaan tenaga kerja selama bertahun-tahun.
Ini menunjukkan bahwa sektor usaha akan tertarik untuk mempertahankan pekerja, terutama karena mereka menuju penurunan dengan margin yang relatif sehat.
Ini kemudian dapat mempertahankan daya beli, mengarah ke resesi yang relatif dangkal dengan hanya sedikit peningkatan dalam apa yang sekarang menjadi rekor tingkat pengangguran rendah.
"Kami melihat kekurangan tenaga kerja yang akut, pengangguran yang secara historis rendah dan jumlah lowongan yang tinggi," kata anggota dewan ECB Isabel Schnabel seperti dikutip Straits Times.
"Ini mungkin menyiratkan bahwa bahkan jika kita memasuki penurunan, perusahaan mungkin cukup enggan untuk melepaskan pekerja dalam skala luas."
Sumber: Straits Times/Kompas.TV