Tindakan ini pun memiliki efek sebaliknya, karena hubungan antara negara adidaya adalah yang paling tegang yang pernah mereka alami selama Perang Dingin.
Baca juga: Iklan Pizza Hut yang Dibintangi Mikhail Gorbachev Viral setelah Kabar Kematiannya
Pada periode antara 1964 hingga 1982, titik fokus pemimpin Soviet berikutnya, Leonid Brezhnev adalah urusan luar negeri dan militer.
Untuk mendukung penyebaran komunisme secara internasional, ia mengembangkan Doktrin Brezhnev yang menyatakan bahwa setiap ancaman di negara manapun di Uni Soviet adalah ancaman bagi semua anggota blok.
Oleh karena itu, intervensi militer untuk membantu pasukan komunis pun saat itu dibenarkan.
Doktrin ini diumumkan untuk membenarkan invasi Soviet ke Cekoslovakia pada 1968 demi menggulingkan pemerintah reformis lokal.
Selama 1970-an, Brezhnev menguraikan strategi yang dikenal sebagai 'Détente' untuk memulihkan hubungan antara Jerman Barat dan Pakta Warsawa sambil juga meredakan ketegangan dengan AS.
Baca juga: Mikhail Gorbachev Meninggal Saat Kebijakan Putin Picu Perang Dingin Baru
Secara bersamaan, ia memperluas dan memodernisasi kemampuan angkatan laut dan militer Uni Soviet.
Tentara Soviet pun tetap menjadi yang terbesar di dunia.
Di bawah kepemimpinannya, Uni Soviet mencapai paritas nuklir strategis dengan AS, dan program luar angkasanya bahkan melampaui AS.
Selain itu, Brezhnev mendukung 'pertempuran pembebasan nasional' di negara-negara berkembang, dengan memberikan bantuan militer kepada kelompok dan rezim sayap kiri.
Lalu pada Desember 1979, Uni Soviet menginvasi Afghanistan untuk mendukung pemerintahan komunis yang runtuh.
Di sisi lain, sebagai politisi Partai Komunis, Mikhail Gorbachev mengambil alih kekuasaan pada 1985.
Miris, ia mewarisi ekonomi yang stagnan dan sistem politik yang rapuh.
Selain kekacauan ekonomi dan politik yang dialami pemerintahan Gorbachev, saat ia menjabat, rezim Soviet telah menciptakan ketergantungan warga Soviet pada para pemimpin mereka.