TRIBUNNEWS.COM - Menteri Luar Negeri Liz Truss telah ditunjuk sebagai pemimpin Partai Konservatif yang berkuasa, Senin (5/9/2022).
Truss mengambil alih kekuasaan sebagai perdana menteri Inggris berikutnya, menggantikan Boris Johnson.
Setelah berminggu-minggu kontes kepemimpinan, pada Senin (5/9/2022) Partai Konservatif yang berkuasa di Inggris mengumumkan memilih Liz Truss sebagai pemimpin barunya, sekaligus perdana menteri baru Inggris.
Truss berhasil mengalahkan saingannya, Rishi Sunak, mantan menteri keuangan Inggris.
Johnson telah mengumumkan pengunduran dirinya pada bulan Juli 2022, setelah berbulan-bulan skandal.
Truss tidak secara otomatis menjadi perdana menteri pada hari Senin karena ritual menentukan bahwa perdana menteri yang akan keluar yakni Boris Johnson harus mengajukan pengunduran dirinya kepada Ratu Elizabeth II terlebih dahulu, baru kemudian menunjuk Truss.
Baca juga: Dianggap Berjasa, Ribuan Orang Tanda Tangani Petisi Agar Boris Johnson Jadi PM Ukraina
Johnson akan melakukan perjalanan ke Skotlandia untuk bertemu Ratu Elizabeth pada hari Selasa (6/9/2022) untuk secara resmi mengajukan pengunduran dirinya.
Penggantinya akan mengikutinya dan diminta untuk membentuk pemerintahan.
Dalam pidato kemenangan singkat pada pengumuman di aula konvensi pusat London, Truss mengatakan adalah suatu kehormatan bahwa dirinya terpilih setelah menjalani salah satu wawancara kerja terpanjang dalam sejarah.
Jonah Hull dari Al Jazeera, melaporkan dari London, mengatakan bahwa Truss menang tidak sebanyak yang diperkirakan oleh jajak pendapat sebelumnya.
“Dia meraih 57 persen suara yang memenuhi syarat di antara anggota Partai Konservatif. Rishi Sunak, mantan rektor bendahara, mendapat 42 persen,” katanya, dilansir Al Jazeera.
"Dia berjanji bahwa dia berkampanye sebagai Konservatif dan dia akan memerintah sebagai Konservatif, dia berjanji untuk memotong pajak, untuk menumbuhkan ekonomi, dia berjanji untuk menangani krisis energi," tambahnya.
Lama menjadi yang terdepan dalam perlombaan untuk menggantikan Johnson, Truss menjadi perdana menteri keempat Konservatif sejak pemilihan 2015.
Selama periode itu negara telah diterpa krisis ke krisis, dan sekarang menghadapi apa yang diperkirakan menjadi resesi panjang yang dipicu oleh inflasi yang meroket yang mencapai 10,1 persen pada Juli.