TRIBUNNEWS.COM, SEOUL - Korea Selatan (Korsel) pada Kamis waktu setempat menawarkan pembicaraan dengan Korea Utara (Korut) untuk membahas reuni keluarga yang dipisahkan oleh Perang Korea 1950 hingga 1953.
Usulan kejutan ini muncul beberapa hari sebelum liburan thanksgiving Chuseok.
Perlu diketahui, dua negara ini sebelumnya telah mengadakan reuni keluarga, namun prospeknya tetap tidak menjanjikan.
Karena Korut berlomba untuk meningkatkan persenjataan senjatanya dan menolak untuk berurusan dengan pemerintahan Presiden Korsel saat ini, Yoon Suk-yeol.
Dikutip dari laman Reuters, Kamis (8/9/2022), Menteri Unifikasi Korsel Kwon Young-se yang bertanggung jawab atas urusan antar-Korea, mendesak adanya tanggapan cepat dan positif, dengan mengatakan bahwa akan mempertimbangkan preferensi Korut dalam memutuskan tanggal, tempat, agenda dan format pembicaraan.
"Kami berharap pejabat yang bertanggung jawab dari kedua belah pihak akan bertemu secara langsung sesegera mungkin untuk diskusi terbuka tentang masalah kemanusiaan, termasuk masalah keluarga yang terpisah," kata Kwon, dalam konferensi pers.
Baca juga: Korban Tewas akibat Topan Hinnamnor yang Melanda Korea Selatan Jadi 10 Orang
Korsel dan Korut telah mengadakan reuni keluarga saat hari libur besar, sebagian besar berada di bawah pemerintahan liberal di Selatan yang telah berusaha untuk melibatkan kembali Korut dan menyediakan makanan serta bantuan lainnya.
Tapi hubungan lintas batas ini telah memburuk karena Korut melakukan sejumlah uji coba rudal yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun ini dan terlihat siap untuk uji coba nuklir pertamanya sejak 2017 lalu.
Saat ditanya tentang kemungkinan menyediakan bantuan makanan, Kwon mengatakan bahwa pemerintahnya tidak mempertimbangkan 'insentif khusus' dan Korut harus menanggapi untuk menangani masalah kemanusiaan.
"Bahkan jika Korut menolak tawarannya, Korsel akan 'terus membuat proposal'," kata Kwon.
Sementara itu, seorang Profesor di Institut Studi Timur Jauh di Universitas Kyungnam, Lim Eul-chul mengatakan bahwa sangat kecil kemungkinan Korut akan menerima tawaran itu.
"Reuni keluarga adalah masalah dasar kemanusiaan, namun pada kenyataannya membutuhkan tingkat kepercayaan yang substansial antara kedua belah pihak," tegas Kwon.
Yoon yang telah menjabat sebagai Presiden Korsel pada Mei lalu telah mengungkapkan apa yang disebutnya sebagai rencana 'berani' untuk memberikan bantuan ekonomi sebagai imbalan pelucutan senjata nuklir.
Ia menegaskan dirinya akan menanggapi secara tegas provokasi Korut.
Di sisi lain, Kim Yo Jong, saudara perempuan pemimpin Korut Kim Jong Un, mengatakan pada bulan lalu bahwa Yoon harus 'menutup mulutnya' dan negaranya tidak akan duduk berhadap-hadapan dengannya.
Wanita ini kemudian mengkritik rencana Yoon sebagai hal yang 'tidak masuk akal'.
Sebelumnya, putaran terakhir reuni keluarga terjadi pada 2018, saat pendahulu Yoon yang liberal mengadakan pertemuan puncak dengan Kim dan mencoba menengahi perjanjian damai antara Korut dan Amerika Serikat (AS).