Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, TEHERAN - Pendukung pemerintah Iran turun ke jalan dalam beberapa hari terakhir di tengah protes yang meluas setelah kematian Mahsa Amini.
Aksi tersebut terjadi setelah pendukung pemerintah Iran mendapat seruan untuk berkumpul melalui pengumuman dan pesan teks massal.
Melansir dari Al Jazeera, beberapa hari terakhir Iran mendapat perhatian internasional setelah meletusnya protes atas kematian seorang wanita bernama Mahsa Amini dalam tahanan "polisi moral" di negara itu.
Mahsa Amini meninggal pada 16 September 2022 setelah ditahan karena dianggap mengenakan jilbab secara tidak pantas.
Baca juga: Profil Mahsa Amini, Wanita yang Tewas di Tangan Polisi hingga Memicu Protes Massal di Iran
Sejak itu, protes telah menyebar ke sebagian besar wilayah Iran, dan tujuh demonstran tewas pada Rabu (21/9/2022) kemarin, menurut organisasi hak asasi manusia.
Sementara seruan untuk pendukung pemerintah Iran agar berkumpul pada hari Minggu (25/9/2022) kemarin, mengikuti seruan serupa setelah Shalat Jumat (23/9/2022), yang dihadiri ribuan orang.
Aksi unjuk rasa tersebut merupakan bagian dari upaya pihak berwenang Iran untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai perilaku "melanggar norma".
Demonstrasi tandingan ini membawa simbolisme agama untuk mendukung pembentukan teokrasi yang berkuasa pada tahun 1979 setelah revolusi Islam.
Penyelenggara demonstrasi mengklaim salinan Al-Qur'an dan bendera Iran telah dibakar selama protes kematian Masha Amini.
Pendukung pemerintah Iran juga mengecam apa yang mereka anggap sebagai intervensi asing dalam urusan Iran, terutama Amerika Serikat.
Aksi demonstrasi pro-pemerintah terbaru pada hari Minggu datang ketika Presiden Ebrahim Raisi dan pihak berwenang lainnya berjanji untuk "menangani dengan tegas mereka yang menentang keamanan dan ketenangan negara".
Protes versus 'kerusuhan'
Protes dimulai setelah Amini, yang ditangkap karena diduga tidak mengikuti aturan berpakaian Iran untuk wanita, menderita stroke dan meninggal dunia setelah beberapa hari koma.
Pihak berwenang menyatakan Amini, yang masih berusia 22 tahun, tidak dipukuli selama proses penahanannya, dan menjelaskan kematiannya sebagai akibat dari penyakit yang sudah ada sebelumnya. Klaim tersebut telah dibantah pihak keluarga Amini.
Baca juga: Ogah Pakai Jilbab, Wartawan CNN Batalkan Wawancara dengan Presiden Iran Ebrahim Raisi
Lusinan orang diperkirakan tewas dan ribuan lainnya ditangkap selama aksi protes atas kematian Mahsa Amini, namun pihak berwenang belum mempublikasikan data resminya.
Televisi pemerintah pada hari Sabtu lalu mengatakan, setidaknya 41 orang telah tewas, dan media pemerintah melaporkan "739 perusuh, termasuk 60 wanita", telah ditangkap di provinsi utara Gilan.
Beberapa dari korban tewas adalah anggota polisi, keamanan dan pasukan paramiliter Basij, menurut keterangan dari pihak berwenang, yang juga mengklaim korban lainnya dibunuh oleh "penyusup" dari pemerintah asing dan pasukan separatis.
Kelompok besar yang dituduh oleh pihak berwenang adalah Komala, sebuah partai sayap kiri yang mencari kemerdekaan bagi etnis Kurdi, yang dianggap Teheran sebagai kelompok teroris.
Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) dilaporkan telah menembak kelompok Komala di wilayah negara tetangga Irak utara pada hari Sabtu dan Minggu.
Baca juga: Ayah Mahsa Amini Sebut Otoritas Iran Berbohong soal Kematian Putrinya, Aksi Protes Terus Meluas
IRGC juga mengklaim Komala berusaha mendapatkan "tim bersenjata dan sejumlah besar senjata" ke Iran untuk mengambil keuntungan dari protes yang sedang berlangsung.
Menurut media pemerintah, anggota kelompok ISIS, Komala dan kelompok separatis bersenjata lainnya yaitu Partai Demokrasi Kurdistan Iran, telah ditangkap di provinsi utara dan barat laut Iran.
Selain itu, media pemerintah Iran juga melaporkan pada Sabtu kemarin IRGC telah menjinakkan plot pengeboman di barat laut Tabriz di provinsi Azerbaijan Timur.