Banyak di antara petugas yang kurang terlatih dalam pengendalian massa dan sangat militeristik.
Baca juga: Komnas HAM: Masyarakat Malang Minta Segera Ada Tersangka Tragedi Stadion Kanjuruhan
Dalam hampir semua kasus, kata para ahli, polisi tidak pernah merespons secara benar atau bertanggung jawab atas kesalahan langkah yang mereka tempuh.
“Bagi saya, ini benar-benar fungsi dari kegagalan reformasi kepolisian di Indonesia,” kata Jacqui Baker, ekonom politik di Murdoch University di Perth, Australia, yang mempelajari kepolisian di Indonesia.
Selama lebih dari dua dekade, aktivis HAM dan ombudsman pemerintah telah melakukan penyelidikan atas tindakan polisi Indonesia.
Laporan-laporan ini, menurut Baker, sering sampai ke kepala polisi, tetapi tidak banyak atau tidak berpengaruh sama sekali.
“Mengapa kita terus dihadapkan dengan impunitas?” dia berkata.
“Karena tidak ada kepentingan politik untuk benar-benar mewujudkan kepolisian yang profesional.”
Kepercayaan publik pada Polri turun tajam
Setelah kekerasan pada Sabtu (1/10/2022) lalu, banyak warganet mencuitkan di Twitter, menyerukan agar Kapolri dipecat.
Pada Senin (3/10/2022) malam, hampir 16.000 orang sudah menandatangani petisi yang meminta polisi agar menghentikan penggunaan gas air mata.
Pemerintah bergerak cepat untuk meredam kemarahan publik, men-skors Kapolres Malang, dan berjanji untuk mengumumkan nama-nama tersangka yang bertanggung jawab dalam tragedi Kanjuruhan.
Baca juga: Daftar 12 Orang yang Dihukum Terkait Tragedi Kanjuruhan, Ketua Umum PSSI Kirim Salam ke Netizen
Polisi di Indonesia tidak pernah sekejam atau sehebat ini.
Selama tiga dasawarsa pemerintahan diktator Soeharto, militerlah yang dipandang sangat berkuasa.
Tetapi, setelah kejatuhannya pada 1998, sebagai bagian dari serangkaian reformasi, pemerintah menyerahkan tanggung jawab keamanan internal pada polisi, memberikan kekuatan yang sangat besar pada Polri.