TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi dalam siaga tinggi setelah berbagi laporan intelijen yang menunjukkan Iran mungkin merencanakan serangan terhadap infrastruktur energi di Timur Tengah, khususnya di Arab Saudi.
Pejabat AS mengutarakan keprihatinannya terkait potensi serangan dari Iran.
Ia berjanji Washington akan menanggapi segala ancaman jika diperlukan.
"Kami prihatin dengan risiko ancaman, dan kami tetap berhubungan terus-menerus melalui saluran militer dan intelijen dengan Saudi," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional.
"Kami tidak akan ragu untuk bertindak membela kepentingan dan mitra kami di kawasan ini," tegasnya, pada Selasa (1/11/2022), lapor Reuters.
Sebelumnya, Wall Street Journal (WSJ) melaporkan bahwa Arab Saudi berbagi informasi intelijen dengan AS terkait serangan dari Iran terhadap sasarannya di Saudi.
Baca juga: Profil Mohammed bin Salman, Putra Mahkota Arab Saudi
Dilansir Fox News, pejabat dari kedua negara mengutarakan kekhawatirannya atas serangan yang akan terjadi kepada WSJ.
Pejabat Saudi mengatakan bahwa selain Arab Saudi, Iran juga ingin menyerang Erbil, Irak, tempat pasukan AS berada.
Serangan yang direncanakan itu, diduga dimaksudkan untuk pengalih perhatian dari protes yang terjadi di Iran saat ini.
Iran adalah saingan utama Arab Saudi di kawasan Teluk.
Kerajaan Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik resmi dengan Teheran pada 2016, setelah pengunjuk rasa Iran menyerbu kedutaan Saudi di Teheran sebagai tanggapan atas eksekusi ulama Syiah di Arab Saudi.
Dalam beberapa tahun ini, pemberontak Houthi yang didukung Iran juga telah menyerang fasilitas minyak di Arab Saudi dan UEA.
Ini meningkatkan kekhawatiran bahwa infrastruktur energi dapat menjadi target provokasi Iran di wilayah tersebut.
Pejabat Saudi dan Iran bertemu secara diam-diam dalam beberapa bulan terakhir untuk membahas masalah keamanan, termasuk perang di Yaman antara Houthi dan koalisi militer yang didukung Saudi, lapor CNN.
Tetapi gencatan senjata antara kedua pihak berakhir bulan lalu, yang menyebabkan ketegangan baru yang meningkat antara Iran dan Arab Saudi.
Sementara itu, Komandan Tertinggi Pengawal Revolusi Iran, Hossein Salami, pada Oktober lalu mengeluarkan peringatan kepada para pemimpin Saudi agar tidak bergantung dengan Israel.
Pada tahun 2020 lalu, Riyadh menyetujui pakta normalisasi hubungan dua sekutu Teluk dengan Israel yang ditengahi AS.
Langkah ini telah menciptakan poros anti-Iran baru di kawasan itu.
Arab Saudi menyalahkan Iran atas serangan rudal dan pesawat tak berawak tahun 2019 di kilang minyaknya.
Namun, tuduhan ini telah dibantah Teheran.
Muslim Sunni dan Syiah terkemuka telah terkunci dalam persaingan selama beberapa dekade, mendukung sekutu yang memerangi perang proksi di seluruh wilayah.
Kekhawatiran terbaru datang menyusul ketegangan antara Riyadh dan Washington setelah aliansi OPEC+ yang dipimpin Saudi bulan lalu memutuskan untuk memangkas target produksi minyak.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan lonjakan harga bensin di Amerika Serikat.
Baca juga: Biden Disebut Marahi Zelensky karena Minta Lebih Banyak Bantuan Senjata dari AS
Presiden Joe Biden mengatakan keputusan tersebut akan mendatangkan konsekuensi bagi hubungan AS dengan Riyadh.
Beberapa senator mendesak Gedung Putih membekukan semua kerja sama dengan Riyadh, termasuk penjualan senjata.
Diketahui, Arab Saudi sangat bergantung pada Amerika Serikat untuk keamanannya.
Sementara itu, AS menuduh Iran memasok drone untuk Rusia yang digunakan dalam perangnya melawan Ukraina.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)