Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, SEOUL - Sudah lima hari sejak tragedi mematikan Halloween Itaewon merenggut nyawa sedikitnya 156 orang di distrik kehidupan malam yang populer di pusat kota Seoul, Korea Selatan (Korsel) pada Sabtu (29/10/2022) malam itu.
Ketika bencana itu pertama kali dilaporkan di Naver News--salah satu portal berita paling populer di Korea-- banyak komentar yang sebagian besar dibuat oleh orang Korea berusia 40-an tahun.
Mereka mengungkapkan kritik terhadap generasi muda yang pergi ke lingkungan Itaewon yang ramai hanya untuk merayakan Halloween, festival yang sebenarnya bukan merupakan budaya asli Korea.
Seorang warga dewasa mengatakan bahwa insiden itu menyedihkan, namun generasi muda lah yang bertanggung jawab atas tragedi itu.
Baca juga: Sebelum Tragedi Halloween Itaewon, Polisi Terima 79 Telepon Darurat Masuk, Hanya 4 yang Direspons
Bahkan ada pertanyaan yang diajukan tentang apakah generasi muda di Itaewon menggunakan narkoba.
Salah satu pertanyaan pertama yang diajukan oleh seorang reporter pada briefing polisi beberapa jam setelah tragedi itu adalah 'apakah ada laporan tentang penggunaan narkoba'.
Dikutip dari laman www koreaherald.com, Kamis (3/11/2022), pihak berwenang dianggap menghindari tanggung jawab.
Menteri Dalam Negeri Lee Sang-min mengatakan bahwa tragedi itu tetap akan terjadi, meskipun dikerahkannya jumlah polisi yang lebih besar ke Itaewon.
Sementara Kepala Distrik Yongsan-gu Park Hee-young menegaskan bahwa kantornya telah melakukan semua yang bisa dilakukan.
Namun, keraguan mulai tumbuh tentang apakah negara, polisi, dan generasi tua tidak memiliki tanggung jawab apapun.
Kritik terhadap Menteri Dalam Negeri dan Wali Kota distrik itu pun telah meningkat atas pernyataan mereka yang dianggap tidak bijak dan berupaya untuk menghindari tanggung jawab.
Baca juga: Polisi Korea Akui Lelet Tangani Tragedi Pesta Halloween di Itaewon
Pada Selasa lalu, Menteri Dalam Negeri, Wali Kota distrik Yongsan, Kepala Polisi Nasional (NPA) Yoon Hee-keun, dan Wali Kota Seoul Oh Se-hoon yang tidak berada di Seoul saat tragedi itu terjadi, semuanya secara terbuka meminta maaf atas tragedi tersebut seiring dengan meningkatnya kritikan terhadap pemerintah dan aparat.
Kritik juga berkembang tentang bagaimana tragedi itu sebenarnya dapat dicegah dengan merilis transkrip panggilan ke polisi pada malam naas tersebut.
Panggilan tersebut dilakukan oleh anak muda beberapa jam sebelum tragedi, mereka melaporkan bahwa mereka kemungkinan besar akan tewas di lokasi karena kerumunan kian meningkat di Itaewon dan meminta bantuan.
Beberapa ahli mengatakan bahwa terjadinya tragedi ini sebagian karena kegagalan generasi tua yang bertanggung jawab untuk memahami budaya generasi muda.
Seorang Profesor di Departemen Sosiologi Universitas Sungkyunkwan, Koo Jeong-woo mengatakan bahwa generasi yang lebih tua tidak mengerti dan tidak tertarik dengan budaya generasi muda.
"Mereka sepertinya berpikir Halloween hanyalah permainan hantu, dan bertanya-tanya mengapa anak-anak muda ini tergila-gila pada hal semacam itu?"
"Mereka hanya berpikir itu (acara) aneh dan hanya untuk bersenang-senang. Begitu banyak personel polisi dikerahkan untuk mengendalikan demonstrasi, meskipun konsentrasi pasukan polisi di Itaewon tampaknya memiliki lebih banyak faktor risiko," tegas Koo.
Ada lebih dari 130.000 orang yang memadati kawasan Itaewon pada malam naas itu, namun hanya 137 personel polisi yang dikerahkan ke lokasi tersebut.
Banyak diantara mereka hanya fokus pada pengawasan obat-obatan terlarang dan kejahatan seksual.
Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan mobilisasi lebih dari 4.000 petugas polisi pada rapat umum yang diadakan di Gwanghwamun dan Samgakji pada hari itu.
Profesor Seol Dong-hoon dari Universitas Nasional Chonbuk mengatakan saat terjadinya tragedi, orang dapat menemukan penyebabnya dalam struktur sosial, negara maupun korban.
"Menemukan penyebab pada korban sangat mudah, namun anda harus sangat berhati-hati untuk itu," jelas Seol.
Halloween, kata dia, merupakan acara budaya yang dinikmati banyak anak muda sejak kecil.
"Sejak tahun 1990-an, ini sudah populer di Korea, dimulai dengan Daycare Center. (Anak muda) merasa familiar dengan Halloween yang tumbuh dewasa. Tidak ada salahnya menikmatinya. Beginilah cara mahasiswa tahun 1980-an menikmati Natal, Valentine's Day dan White Day. Tidak masuk akal untuk mengkritik siapapun karena mereka menikmatinya," tegas Seol.
Dengan dalih membina bakat global menjelang Olimpiade 1988, native speaker bahasa Inggris dipekerjakan di sekolah-sekolah nasional.
Baca juga: Update Korban Pesta Halloween di Itaewon, Ada 154 Koban Tewas, Ini Rinciannya
Para guru memaparkan bahwa siswa belajar pada berbagai aspek budaya populer Amerika, termasuk Halloween yang dinikmati banyak anak.
Seorang Profesor Studi Budaya di Universitas Kyung Hee, Lee Taek-gwang mengatakan bahwa generasi muda merasa kecewa dan tidak berdaya melihat generasi yang lebih tua menyalahkan mereka atas tragedi tersebut.
"Bahkan sampai generasi saya, kami disosialisasikan terutama melalui pengakuan oleh teman, orang tua, saudara, guru, dan orang lain di sekitar kami. Tapi sekarang milenial dan Generasi Z dan mereka yang berusia 20-an dan 30-an tidak seperti itu," kata Lee, Selasa lalu
Media sosial dianggap memiliki dampak besar pada kaum muda, dan Halloween dibentuk dengan cara itu sebagai budaya dalam masyarakat yang semakin mengglobal.
"Ketika saya melihat komentar jahat yang mencoba menyalahkan para korban untuk budaya Halloween, saya banyak berpikir tentang apa yang akan terjadi jika masyarakat ini terus seperti ini," tegas Lee.
Banyak warga yang mengungkapkan rasa bersalah dan hutang budi mereka kepada para korban, yang sebagian besar berusia 20-an, melalui buku-buku memorial yang ditempatkan di altar memorial bersama.
Seorang warga menulis pada catatan tempel di sebuah altar di Gwangju.
"Saya minta maaf karena orang dewasa melakukan kesalahan. Saya akan berjuang sampai akhir untuk Korea yang aman," kata warga tersebut.