Komitmen yang disertai dengan peningkatan kekuatan militer di atas, tentu berpotensi meningkatkan ketegangan di kawasan Laut China Selatan, di mana terdapat sengketa kepemilikan wilayah antara China dan beberapa negara Asia Tenggara.
Sengketa tersebut masih menjadi salah satu isu keamanan yang belum terselesaikan di kawasan Asia-Pasifik.
Apalagi, meski dalam beberapa pidatonya Xi seringkali memberi penekanan pada perdamaian dan penolakan penggunaan kekuatan semena semana, insiden-insiden di Laut China selatan tetap saja terjadi.
Baca juga: Pulihkan Ekonomi, IMF Minta China Genjot Vaksinasi Covid-19 dan Beri Dukungan di Sektor Properti
Insiden dengan Filipina misalnya, terjadi pada tahun 2021 ketika 3 kapal penjaga pantai China menyerang perahu logistik Filipina menggunakan senjata air (water canon).
Peristiwa pengadangan terhadap kapal pembawa logistik Filipina terjadi kembali pada akhir Juni tahun ini. Sementara itu pada Oktober tahun lalu, Malaysia melayangkan proses atas masuknya kapal-kapal China ke wilayahnya.
China juga dikabarkan telah melakukan militerisasi secara penuh pada setidaknya 3 dari beberapa pulau yang dibangunnya di wilayah yang masih disengketakan di Laut China Selatan.
Padahal pada 2015, Presiden Xi pernah memberikan janji bahwa China tidak akan melakukan militerisasi pada pulau-pulau tersebut.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, pada Maret 2022 lalu, Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa China memiliki hak membangun fasilitas pertahanan di wilayah yang China klaim sebagai milik China itu.
“Berkaca pada pengalaman di atas, maka sangat perlu bagi negara-negara Asia Tenggara untuk bersikap waspada terhadap peningkatan kemampuan militer China seperti yang ditargetkan Xi di atas,” komentar Johanes.
Johanes juga berpendapat bahwa Indonesia pun perlu waspada terhadap peningkatan kekuatan militer yang disertai dengan penekanan komitmen untuk mempertahankan kedaulatan China di atas.
Kewaspadaan ini perlu karena sejak dasawarsa 1990 an yang lalu, China secara sepihak memperkenalkan 9 garis putus-putus yang salah satunya menyasar ke sebagian dari wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia, dan menganggapnya sebagai wilayahnya.
“Meski klaim China terhadap sebagian dari perairan yang kini bernama Laut Natuna Utara itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), kita tetap harus waspada mengingat China nampaknya tetap berupaya mempertahankan klaim nya,” tuturnya.
Dia menambahkan, klaim China di atas dibarengi dengan manuver kapal-kapal penjaga pantai dan nelayan China, yang seringkali mengganggu kapal-kapal nelayan Indonesia di sana.
Bahkan pada tahun 2021 lalu, media di Indonesia melaporkan hadirnya beberapa kapal perang China, antara lain berjenis Frigate dan Destroyer, di kawasan ZEE Indonesia di Natuna.