Sanksi ini berkaitan dengan perang saudara yang terjadi di Suriah.
"Sanksi ini memiliki konsekuensi bencana bagi kehidupan sehari-hari warga Suriah dan tidak memungkinkan mereka menerima layanan, bahan bakar, kebutuhan rumah tangga yang diperlukan. gas, listrik, terutama di musim dingin," lanjutnya.
Baca juga: Presiden Turki Erdogan Peringatkan Yunani Rudal Balistiknya Dapat Mencapai Athena
Perang saudara di Suriah dan campur tangan AS
Sejak pemberontakan dimulai pada Maret 2011 di Suriah, pemerintah AS dan Dewan Uni Eropa telah secara intensif menerapkan sanksi.
Sanksi itu berupa perampasan sumber daya yang dapat digunakan rezim untuk melakukan kekerasan terhadap warga sipil.
Selain itu, sanksi yang diterapkan AS diharapkan dapat menekan rezim Suriah agar mengambil jalur demokrasi sesuai permintaan rakyat Suriah.
Kemudian sanksi ini meluas ke pejabat Suriah, termasuk Presiden Suriah Bashir al-Assad.
Sementara sanksi dari Dewan Uni Eropa berupa pembatasan impor minyak, pembatasan investasi, dan pembekuan aset hingga 1 Juni 2023, dikutip dari laman Dewan Uni Eropa.
Pada tahun 2014, AS mulai menempatkan pasukannya di Suriah untuk menumpas ISIS, seperti dirangkum oleh Al Jazeera.
AS bekerja sama dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didominasi milisi Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG), untuk membasmi ISIS.
Pada tahun 2017, militer AS menembakkan rudal jelajah ke pangkalan udara Shayrat Suriah dan menewaskan 88 orang di Provinsi Idlib.
Dua tahun kemudian, AS membatalkan penarikan militer karena serangan ISIS telah menewaskan empat tentara AS.
Hingga kini, militer AS masih berada di Suriah.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Artikel lain terkait Konflik Suriah