TRIBUNNEWS.COM - Sekelompok mantan karyawan yang menggugat Twitter, mencetak kemenangan awal, Rabu (14/12/2022).
Seorang hakim memerintahkan perusahaan yang diakuisisi Elon Musk itu untuk meneruskan pesan kepada staf yang diberhentikan tentang gugatan yang sempat tertunda.
Dilansir CNN, mantan karyawan tersebut termasuk di antara ribuan orang yang diberhentikan bulan lalu dalam PHK massal setelah pengambilalihan Musk.
Dia menuduh Twitter mengingkari janji untuk mengizinkan 'remote working' (bekerja jarak jauh) dan memberikan tunjangan pesangon setelah akuisisi.
Gugatan tersebut juga menuduh Twitter tidak memberikan pemberitahuan yang memadai yang diwajibkan undang-undang federal dan pemerintah California.
Karyawan tersebut juga mengaku tidak ditawari gaji tambahan sebagai pengganti pemberitahuan tersebut.
Baca juga: Kaleidoskop 2022: Lika-liku Perjalanan Panjang Elon Musk Akuisisi Twitter
Dalam mengabulkan mosi pada Rabu kemarin, James Donato, hakim pengadilan distrik California yang mengawasi kasus ini, mengatakan komunikasi perusahaan dengan karyawan tidak boleh dibuat menyesatkan dengan menghilangkan informasi material tentang gugatan yang tertunda.
Perintah tersebut mungkin merupakan indikasi awal bahwa hakim bersimpati pada argumen karyawan.
Itu terjadi setelah Musk memberhentikan sekitar setengah dari staf Twitter bulan lalu dalam upaya untuk memangkas biaya menyusul akuisisi perusahaan media sosial senilai $44 miliar.
Dia kemudian memecat karyawan tambahan, meminta pekerja yang tersisa untuk menyetujui ultimatum untuk bekerja "keras" atau keluar dari perusahaan.
Twitter masih bungkam
Seperti diketahui, Twitter baru-baru ini memberhentikan sebagian besar departemen komunikasinya.
Baca juga: Saat Kampanyekan Kebebasan Berbicara, Tapi Twitter Tangguhkan Akun Pelacak Jet Pribadi Elon Musk
Perusahaan tidak segera menanggapi permintaan komentar atas perintah tersebut.
Twitter juga belum mengomentari soal gugatan itu sebelumnya.
"Tampaknya PHK telah dilakukan dengan cara yang benar-benar canggung dan tidak manusiawi dan berpotensi ilegal ... dan ini akibatnya," kata salah satu mantan karyawan yang menggugat Twitter, insinyur Emmanuel Cornet, dalam konferensi pers minggu lalu.
Perjalanan Elon Musk akuisisi Twitter
Seperti diketahui, Twitter merupakan media sosial yang mulai berdiri sejak 21 Maret 2006 di California, AS.
Platform ini didirikan oleh Jack Dorsey, Evan Williams, Christopher “Biz” Stone dan Noah Glass.
Pada 2007, Twitter diperkenalkan sebagai perusahaan baru yang dipimpin oleh Jack Dorsey sebagai CEO Twitter pertama.
Baca juga: Harga Saham Tesla Anjlok 28 Persen Sejak Elon Musk Ambil Alih Twitter
Sejak saat itu pula popularitas Twitter kian meningkat hingga tercatat ada lebih dari 400.000 kicauan setiap harinya.
Elon Musk Akuisisi Twitter
CEO Tesla yang juga sebagai miliarder papan atas yakni Elon Musk menandatangani kesepakatan untuk akuisisi Twitter pada April 2022.
Pada 5 April, Musk mengungkapkan bahwa dia telah membeli lebih dari 9 persen saham Twitter di pasar terbuka.
Pada awalnya, dia ditawari kursi dewan.
Rencana itu gagal dengan cepat dan Twitter memutuskan untuk mengadopsi strategi poison-pill untuk mencegah pengambilalihan oleh Musk.
Baca juga: Elon Musk Bukan Lagi Orang Terkaya di Dunia, Sosok Ini Gantikan Posisinya
Musk kemudian membuat penawaran untuk membeli Twitter seharga 54,20 dolar AS per saham atau sekitar 44 miliar dolar AS.
Harga yang jauh di atas harga saham perusahaan pada saat itu.
Pada 25 April, Twitter memutuskan untuk menerima tawaran Musk.
"Dewan Twitter melakukan proses yang bijaksana dan komprehensif untuk mengkaji proposal Elon dengan fokus yang terarah pada nilai, kepastian, dan pembiayaan," kata Ketua Dewan Independen Twitter, Bret Taylor, dalam sebuah pernyataan.
Pada 13 Mei, Musk mengatakan bahwa dia menunda kesepakatan untuk mengakuisisi Twitter sementara waktu, sambil menunggu informasi tambahan tentang jumlah akun palsu dan spam di Twitter.
Pada 28 Oktober, Musk secara resmi menyelesaikan akuisisi, mengambil alih Twitter dan segera memecat eksekutif kunci, termasuk CEO Parag Agrawal dan direktur kebijakan Vijaya Gadde.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)