TRIBUNNEWS.COM - Angka kelahiran di Korea Selatan semakin menyusut, hingga memecahkan rekornya sendiri untuk tingkat kesuburan terendah di dunia.
Tingkat kelahiran di Korea Selatan turun menjadi 0,78 pada 2022, menurut data yang diterbitkan oleh Statistics Korea pada hari Rabu (22/2/2023).
Angka tersebut merupakan yang terendah di antara negara-negara dalam Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dikutip dari Al Jazeera.
Misalnya, tingkat kelahiran Korea Selatan jauh di bawah Amerika Serikat yang berada di 1,64 pada tahun 2020.
Bahkan, lebih rendah dari Jepang yang berada di angka 1,33 pada tahun 2020.
Ibu Kota Korea Selatan, Seoul, mencatat angka kelahiran terendah 0,59.
Baca juga: Untuk Pertama Kalinya, Pengadilan di Korea Selatan Akui Hak Pasangan Sesama Jenis
Badan tersebut mencatat 249.000 bayi lahir pada tahun 2022, turun 4,4 persen dari tahun sebelumnya.
Para ahli mengatakan angka tersebut harus setidaknya 2,1 untuk menjaga populasi Korea Selatan stabil di 52 juta.
Rendahnya tingkat kelahiran di Korea Selatan memicu kekhawatiran populasi yang menurun.
Hal ini akan merusak ekonomi Korea Selatan karena kekurangan tenaga kerja.
Selain itu, generasi tua akan kekurangan penerus, sehingga akan lebih banyak orang tua daripada orang-orang muda.
Akibatnya, negara akan mendanai pengeluaran kesejahteraan yang lebih besar, semantara jumlah pembayar pajak menyusut.
Pemerintah telah menghabiskan 280 triliun won selama 16 tahun terakhir untuk membalikkan penurunan angka kelahiran, tapi gagal.
Baca juga: Daftar 66 Negara yang Terapkan Wajib Militer: Korea Selatan, Rusia, hingga Ukraina
Penyebab Anjloknya Angka Kelahiran di Korea Selatan
Menyusutnya angka kelahiran tidak jauh dari lingkungan sosial dan ekonomi yang terjadi di Korea Selatan.
1. Tak Wajib Berkeluarga
Banyak anak muda Korea Selatan mengatakan, tidak seperti orang tua dan kakek nenek mereka, mereka tidak merasa berkewajiban untuk berkeluarga.
2. Kondisi Ekonomi yang Tak Mendukung
Mereka mengkhawatirkan ketidakpastian pasar kerja yang suram, perumahan mahal, serta ketidaksetaraan gender dan sosial.
Selain itu, tingkat mobilitas sosial yang rendah dan biaya besar untuk membesarkan anak dalam masyarakat yang sangat kompetitif di Korea Selatan juga menjadi faktor menurunnya angka kelahiran ini.
3. Budaya Patriarki di Tempat Kerja
Perempuan juga mengeluhkan budaya patriarkal yang memaksa mereka melakukan banyak pengasuhan anak sambil menanggung diskriminasi di tempat kerja.
Kebanyakan perempuan di Korea Selatan memberontak dengan mengesampingkan urusan berumah tangga dan memilih mengejar pendidikan atau karier profesional.
"Singkatnya, negara kita bukanlah tempat yang baik untuk ditinggali, jadi mewariskan beban kepada anak-anak kita bukanlah pilihan yang baik," kata seorang responden Korea Selatan, dikutip dari The Korea Times.
Baca juga: Kementerian Unifikasi Korea Selatan Sebut Krisis Pangan di Korea Utara Semakin Memburuk
Presiden Beri Solusi
Pemerintahan Presiden Yoon Suk-yeol pada Desember 2022 meluncurkan serangkaian tindakan untuk mengatasi penurunan angka kelahiran di Korea Selatan.
Pemerintah mendorong melahirkan anak dan menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja.
Pemerintah juga berjanji untuk mengambil langkah-langkah untuk menyediakan perumahan yang terjangkau dan lebih banyak pekerjaan bagi kaum muda.
Presiden Korea Selatan sebelumnya, Moon Jae-in (2017-2022), telah menawarkan solusi untuk mengatasi penurunan kelahiran, dikutip dari India Times.
Ia memberikan tunjangan bulanan sebesar 300.000 won, atau sekitar $274, untuk setiap bayi baru lahir dan bayi hingga usia 1 tahun mulai tahun 2022.
Selain itu, calon pasangan akan mendapatkan bonus tunai 2 juta won mulai tahun depan, bersamaan dengan peningkatan tunjangan medis dan tunjangan lainnya.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Korea Selatan