Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, BAGHDAD - Irak dan Libya telah melihat lonjakan kasus kanker dan malformasi kongenital akibat radiasi yang diduga terkait dengan depleted uranium.
Depleted uranium ini digunakan dalam amunisi yang ditembakkan sekutu NATO tanpa pandang bulu selama invasi tahun 1990, 2003 dan 2011.
Pernyataan ini disampaikan Souad Naji Al-Azzawi, seorang Peneliti Lingkungan dan Akademik Irak terkemuka dengan lebih dari 50 makalah ilmiah yang diterbitkan dalam berbagai topik, termasuk pengelolaan limbah nuklir dan kontaminasi uranium yang habis.
Kontroversi mengenai senjata depleted uranium yang digunakan di medan perang untuk menembus kendaraan lapis baja telah berkecamuk sejak pengeboman Yugoslavia pada 1999, di mana pasukan NATO menggunakan sekitar 31.000 butir amunisi depleted uranium.
Polemik soal depleted uranium ini membuncah menyusul pernyataan Inggris.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Inggris Annabel Goldie secara tertulis membenarkan bahwa negaranya akan memberikan selongsong depleted uranium kepada Ukraina.
"Bersama skuadron tank tempur Challenger 2 yang akan kami kirim ke Ukraina, kami akan memasok amunisi termasuk peluru tembus kendaraan lapis baja yang mengandung depleted uranium," demikian keterangan Goldie.
Ia kemudian menambahkan amunisi-amunisi itu amat efektif untuk menaklukkan tank-tank modern dan senjata lapis baja.
Depleted uranium merupakan produk hasil pengayaan uranium yang digunakan untuk menambah daya rusak dan penetrasi pada proyektil amunisi.
Baca juga: Rusia: Perdamaian Palsu, Barat Ingin Hancurkan Ukraina Lewat Kiriman Cangkang Uranium
Perdebatan tentang apakah uranium dapat menyebabkan masalah kesehatan yang parah pada warga sipil dan tentara, kini dihidupkan kembali dengan pengumuman Inggris bahwa mereka akan memasok peluru uranium yang sudah habis ke Ukraina.
Hal ini mendorong Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan bahwa negaranya akan 'dipaksa untuk bereaksi sesuai' terhadap penggunaan Barat atas apa yang disebutnya sebagai 'senjata dengan komponen nuklir'.
Inggris dan Amerika Serikat (AS) pun telah membantah bahwa ada hubungan yang dikonfirmasi antara depleted uranium dan kanker.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan dalam makalah tahun 2001 bahwa hanya penggunaan depleted uranium oleh militer yang mungkin memiliki dampak signifikan pada tingkat lingkungan.