TRIBUNNEWS.COM - Pemilu Presiden Turki hari Minggu (14/5/2023) berakhir tanpa ada calon presiden yang mendapat suara mayoritas sederhana.
Artinya, para kandidat akan bersaing lagi dalam pemilihan presiden putaran kedua yang akan digelar pada 28 Mei 2023.
Dua capres utama, pemimpin lama Turki Presiden Recep Tayyip Erdogan dan pemimpin oposisi Kemal Kilicdaroglu, akan bersaing untuk mendapatkan suara mayoritas dan kursi kekuasaan tertinggi negara.
Mengutip The Washington Post, para analis mengatakan pemungutan suara itu sendiri tampak bebas dan aman, tetapi belum tentu adil mengingat pemerintahan Erdogan yang semakin otokratis, monopoli media Turki dan jaringan perlindungan yang luas dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa.
Pada pemilihan Turki kali ini, bukan hanya masa depan demokrasi negara itu yang dipertaruhkan, tapi juga dampaknya bagi masa depan NATO, perang Rusia di Ukraina, serta aliansi AS dan Timur Tengah.
Inilah yang perlu diketahui tentang apa yang terjadi selama akhir pekan, serta apa yang akan terjadi selanjutnya.
Baca juga: Turki Bersiap Gelar Pilpres Putaran Kedua, Belum Ada Kandidat yang Raih Suara Lebih dari 50 Persen
Apa yang terjadi di putaran pertama?
Erdogan memenangkan 49,5 persen suara hari Minggu sedangkan Kilicdaroglu meraih 44,9 persen, menurut hasil awal yang diumumkan oleh dewan pemilihan nasional Turki hari Senin.
Namun karena tidak ada yang mendapatkan mayoritas mutlak, kedua kandidat utama akan bersaing lagi dalam putaran kedua.
Kandidat nasionalis partai ketiga, Sinan Ogan, hanya memperoleh sekitar 5 persen suara.
Meskipun tidak ada tuduhan kecurangan, di mana Turki memiliki sistem pemantauan pemilu yang kuat, Kilicdaroglu menuduh Erdogan mencoba memanipulasi hasil dengan berulang kali memperebutkan kotak suara di daerah kubu oposisi.
Di media yang dikelola pemerintah, Erdogan memimpin sepanjang malam.
Penundaan pelaporan hasil yang lama, memicu tuduhan dari pihak oposisi bahwa pemerintah berusaha memperlambat proses penghitungan suara.
Pemungutan suara ini akan menjadi tantangan elektoral terbesar Erdogan sejak ia menjadi presiden pada tahun 2003.