TRIBUNNEWS.COM, IRAN - Presiden Iran Seyyed Ebrahim Raisi dijadwalkan mengunjungi Indonesia selama dua hari mulai besok, Selasa (23/5/2023) hingga Rabu (24/5/2023).
Presiden Iran Seyyed Ebrahim Raisi akan berada di Indonesia didampingi oleh Ibu Negara Jamileh Alamolhoda.
Presiden Iran akan diterima oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 23 Mei 2023 di Istana Kepresidenan Bogor dan akan melakukan kunjungan ke beberapa tempat, termasuk Masjid Istiqlal.
Presiden Raisi dijadwalkan akan meletakkan karangan bunga di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, di Jakarta sebelum melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor pada hari Selasa, 23 Mei 2023.
Selanjutnya, Presiden Raisi juga diagendakan pertemuan dengan Ketua DPR RI dan Ketua MPR RI serta berkunjung ke Masjid Istiqlal.
Baca juga: Presiden Iran Ebrahim Raisi Kunjungi Indonesia, Bertemu Jokowi hingga Kunjungi Masjid Istiqlal
Dalam kunjungan ini akan disepakati beberapa perjanjian yang penting dalam pemajuan hubungan bilateral RI Iran.
Antara lain PTA dan beberapa MoU terutama di bidang ekonomi dan juga penanganan narkotika.
Pejabat yang akan mendamping Presiden Ira antara lain Wakil Presiden Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Menteri Luar Negeri, Menteri Informasi dan Teknologi Komunikasi, Menteri Perminyakan serta sejumlah Wakil Menteri dan Pimpinan lembaga pemerintah.
Kunjungan terakhir Presiden Iran ke Indonesia dilakukan pada pada 23-24 April 2015, ketika Presiden Hassan Rouhani menghadiri Peringatan 50 Tahun Konferensi Asia - Afrika.
Dituduh Ekstrimis oleh Israel
Ebrahim Raisi terpilih jadi presiden Iran pada 2021 lalu menggantikan Hassan Rouhani yang telah menjabat selama dua periode berturut-turut.
Ebrahim Raisi sebelumnya menjabat sebagai hakim agung Iran.
Seperti Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, Raisi mengenakan sorban hitam, menunjukkan bahwa dia adalah seorang sayyid, keturunan Nabi Muhammad.
Ulama berusia 60 tahun itu dibesarkan di timur laut kota Mashhad, sebuah pusat keagamaan penting bagi Muslim Syiah di mana Imam Reza, imam Syiah kedelapan, dimakamkan.
Pendidikannya menjadi bahan perdebatan, dimana dia mengatakan memegang gelar doktor di bidang hukum dan menyangkal hanya memiliki enam kelas pendidikan formal.
Setelah revolusi Islam 1979, Raisi bergabung dengan kantor kejaksaan di Masjed Soleyman di barat daya Iran dan kemudian menjadi jaksa untuk beberapa yurisdiksi.
Dia pindah ke ibukota, Teheran, pada tahun 1985 setelah ditunjuk sebagai wakil jaksa.
Dia konon telah memainkan peran dalam eksekusi massal tahanan politik yang terjadi pada tahun 1988, tak lama setelah Perang Iran-Irak delapan tahun berakhir.
Namun ia tidak pernah secara terbuka membahas klaim tersebut.
Selama tiga dekade berikutnya, ia menjabat sebagai jaksa Teheran, kepala Organisasi Inspeksi Umum, jaksa agung Pengadilan Khusus Pendeta, dan wakil ketua hakim.
Pemimpin tertinggi menunjuk Raisi sebagai kepala Astan-e Quds Razavi, tempat suci Imam Reza yang berpengaruh, pada Maret 2016.
Memimpin salah satu bonyad terbesar Iran, atau perwalian amal, memberi Raisi kendali atas aset bernilai miliaran dolar dan mengukuhkan posisinya di antara ulama dan elit bisnis di Masyhad.
Raisi gagal melawan Presiden Hassan Rouhani dalam pemilihan presiden 2017, mengumpulkan hanya 38 persen suara, atau di bawah 16 juta suara.
Khamenei menunjuk Raisi untuk memimpin peradilan pada 2019.
Di Mata Israel, Raisi Dipandang sebagai Ekstremis yang Berambisi Perjuangkan Program Nuklir
Dilansir BBC.com, seorang juru bicara kementerian luar negeri Israel, Lior Haiat, mengatakan Raisi adalah presiden Iran yang paling ekstrem.
Haiat juga memperingatkan bahwa pemimpin baru itu pasti akan meningkatkan aktivitas nuklir Iran.
Iran dan Israel telah lama berada dalam "perang bayangan", yang mengakibatkan kedua negara mengambil bagian dalam aksi balas dendam, tetapi sejauh ini tetap menghindari konflik.
Namun belakangan permusuhan antara keduanya kembali meningkat.
Salah satu sumber ketegangan terbesar dipercaya adalah aktivitas nuklir Iran.
Iran menyalahkan Israel atas pembunuhan ilmuwan nuklir utamanya tahun lalu dan serangan terhadap salah satu pabrik pengayaan uraniumnya pada April.
Sementara itu, Israel tidak percaya bahwa program nuklir Iran adalah program yang murni damai.
Israel yakin Iran bekerja untuk membangun senjata nuklir.
Kesepakatan nuklir Iran 2015 runtuh ketika mantan Presiden AS Donald Trump meninggalkan kesepakatan pada 2018, dan memberlakukan kembali sanksi yang melumpuhkan ekonomi.
Pemerintahan Biden sekarang mencoba mencari cara untuk memasuki kembali kesepakatan itu.
Menanggapi sanksi yang diperketat, Iran meningkatkan kegiatan nuklirnya, dan saat ini memperkaya uranium pada tingkat tertinggi yang pernah ada - meskipun jumlah itu masih kurang dari apa yang dibutuhkan untuk membuat senjata tingkat nuklir.