TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah media asing menyoroti permintaan sebuah komunitas pribumi di Indonesia yaitu suku Baduy yang meminta pemblokiran internet di daerah mereka untuk meminimalkan "dampak negatif" dunia online.
Media berita dari Eropa, Asia Timur, Amerika, hingga Australia melaporkan permintaan tersebut yang dianggap tidak lazim oleh publik Barat.
Diantaranya dilaporkan oleh media Eropa France24, Jumat (9/6/2023), Suku Baduy merupakan sebuah komunitas yang terdiri dari 26.000 orang di Provinsi Banten, Indonesia.
Mereka membagi diri menjadi kelompok luar yang sebagian mengadopsi teknologi dan kelompok dalam yang menghindari kemajuan kehidupan kontemporer.
Kelompok Badui Dalam meminta pemerintah untuk mematikan sinyal internet atau mengalihkan menara telekomunikasi di sekitar mereka agar sinyal tidak mencapai mereka.
"Permintaan ini merupakan bagian dari upaya kami untuk meminimalkan dampak negatif ponsel pintar pada orang-orang kami," tulis perwakilan suku Badui.
Baca juga: Warga Baduy Minta Sinyal Internet Dihapuskan dari Wilayahnya, Ini Tanggapan Pemkab Lebak
Mereka berargumen menara telekomunikasi yang dibangun dekat daerah mereka dapat mengancam cara hidup dan moral generasi muda yang mungkin tergoda untuk menggunakan internet.
Pejabat di Kabupaten Lebak mengatakan mereka menerima surat tersebut hari Senin dan setuju untuk berbicara dengan Kementerian Informasi Indonesia untuk mencoba memenuhi permintaan tersebut.
"Pada dasarnya kami ingin selalu mengakomodasi apa yang diinginkan oleh masyarakat Badui, serta perlu menjaga tradisi dan kearifan lokal mereka," kata pejabat Lebak, Budi Santoso, kepada AFP pada Jumat.
Ia mengatakan internet dibutuhkan oleh kelompok Badui luar, yang telah memulai bisnis online, tetapi juga para pejabat khawatir pengunjung atau wisatawan dapat mengakses internet dan menunjukkan konten yang dianggap tidak pantas oleh orang-orang Badui.
Kebebasan internet di Indonesia, negara mayoritas Muslim yang konservatif, merupakan isu kontroversial.
Pemerintah telah melarang perjudian dan pornografi serta menuntut penyedia internet untuk menyaring konten yang dianggap tidak pantas.
Meskipun adanya sensor, situs web ilegal yang menyediakan konten semacam itu masih banyak.
Kelompok Badui dalam yang terpencil yang dijuluki "Amish dari Asia" oleh media Barat telah memilih untuk hidup di hutan dan menolak teknologi, uang, dan pendidikan formal.
Mereka tinggal di tiga desa yang tersebar di area seluas 4.000 hektare yang berjarak beberapa jam berkendara dari ibu kota Jakarta.
Pemerintah menyatakan daerah tersebut sebagai situs konservasi budaya pada tahun 1990. Indonesia adalah negara yang sangat beragam dengan lebih dari 1.300 kelompok etnis yang tersebar di seluruh kepulauan.
Tanggapan Pemerintah Lokal
Permohonan penghapusan sinyal tersebut diprioritaskan untuk di wilayah Badui Dalam, yaitu Cikeusik, Cibeo di Cikartawana.
Kamis (8/6/2023), Bupati Lebak telah menerima permintaan itu melalui surat yang ditandatangani oleh Kepala Desa Kanekes, Saija.
Termuat dua poin permohonan dalam surat tersebut. Poin pertama adalah permohonan penghapusan sinyal internet, atau mengalihkan pemancar sinyal (tower), agar tidak diarahkan ke wilayah Tanah Ulayat Badui dari berbagai arah, sehingga Tanah Ulayat Badui menjadi wilayah yang bersih dari sinyal internet (blankspot area internet).
Kemudian poin kedua permohonan adalah untuk membatasi, mengurangi atau menutup aplikasi, program dan konten negatif pada jaringan internet yang dapat memengaruhi moral dan akhlak generasi bangsa.
Kepala Desa Kanekes, Saija menjelaskan, surat permohonan itu dikirim ke pemerintah usai melalui musyawarah dengan Barisan Kolot di Badui yang keberatan dengan dua tower yang memancarkan internet ke Tanah Ulayat Badui.
“Arahan dari Lebaga Adat Badui ada dua pemancar, satu di Cijahe dan kedua di Sobang, sinyalnya diarahkan ke luar Badui,” kata Saija Kamis (8/7/2023).
“Usulan ini dibuat bertujuan sebagai upaya dan usaha kami pihak lembaga adat untuk memperkecil pengaruh negatif dari penggunaan internet terhadap warga kami,” ujar Saija.
Sementara di Badui Luar, sinyal masih dibutuhkan untuk keperluan bisnis dan komunikasi dengan pemerintah.
“Kalau di luar kan banyak yang usaha, jadi masih dibutuhkan untuk bisnis online,” kata dia.
Dikutip dari Kompas.com, Kamis, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak, Imam Rismahyadin mendukung permohonan penghapusan sinyal internet di Badui.
Menurutnya, hal tersebut bisa menjadi upaya untuk mempertahankan kearifan lokal dan menjaga identitas suku Badui.
Namun demikian, kata Imam, permohonan tersebut akan dibahas dahulu dengan stakeholder terkait.
“Justru akan menambah banyak orang melakukan saba Budaya Badui tentunya dengan tetap menaati aturan setempat,” kata dia.
Profil Singkat Suku Baduy
Suku Baduy adalah penduduk asli yang hidup di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Dilansir dari laman Kemendikbud, nama Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut.
Pendapat pertama munculnya nama Baduy berasal dari sebutan para peneliti Belanda yang melihat kemiripan mereka dengan kelompok Arab Badawi di Timur Tengah yang merupakan masyarakat dengan cara hidup berpindah-pindah (nomaden).
BPendapat berikutnya adalah nama Baduy muncul karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.
Sementara orang Baduy lebih suka menyebut dirinya sebagai urang Kanekes atau orang Kanekes sesuai dengan nama wilayah yang mereka tinggali.
Dilansir dari laman Kemendikbud, sejarah suku Baduy Dalam berasal dari Batara Cikal, yaitu salah satu dari tujuh dewa yang diturunkan ke bumi.
Batara Cikal sendiri memiliki peran untuk mengatur keseimbangan yang ada di bumi.
Versi tersebut mirip dengan cerita diturunkannya Nabi Adam ke bumi. Suku Baduy pun percaya bahwa mereka adalah keturunan Nabi Adam.
Adapun para ahli sejarah memiliki pendapat sendiri berdasar pada temuan prasasti sejarah, catatan para pelaut dari Portugis dan Tiongkok yang dihubungkan dengan cerita rakyat tentang Tatar Sunda.
Pada versi yang diungkap ahli sejarah, masyarakat baduy (kanekes) memiliki kaitan dengan Kerajaan Pajajaran pada sekitar di abad ke-16 di mana kesultanan Banten belum berdiri.
Dengan wilayah yang strategis, Pangeran Pucuk memerintahkan pasukan prajurit pilihan untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng-Sungai Ciujung.
Versi ketiga diungkap Van Tricht yang berkunjung ke Baduy di tahun 1982 yang tidak mengakui kedua pendapat diatas.
Menurut Van Tricht, masyarakat Baduy sudah ada sejak lama disana dan merupakan masyarakat asli dan sangat ketat mempertahankan kebudayaan nenek moyang mereka.
Pendapat Van tricht sejalan dengan pendapat Danasasmita dan Djatisunda (1986:4-5) di mana menurut dua ahli ini pada masa lalu ada seorang raja yang berkuasa di wilayah sekitar Baduy bernama Rakeyan Darmasiska.
Sang raja ini memerintahkan masyarakat Baduy untuk memelihara Kabuyutan (tempat pemujaan nenek moyang) dan menjadikan kawasan tersebut sebagai Mandala atau kawasan suci.
Sumber: Kompas.TV/Kompas.com/AFP/France24