TRIBUNNEWS.COM - Singapura baru saja mengeksekusi mati seorang tahanan karena memperdagangkan 54 gram heroin, Kamis (3/8/2023).
Eksekusi mati itu adalah yang ketiga hanya dalam kurun waktu delapan hari, Independent melaporkan.
Sebelumnya, pria 56 tahun dieksekusi pada Rabu (26/7/2023), dilanjutkan seorang wanita 45 tahun pada Jumat (28/7/2023).
Eksekusi tetap dilakukan meski ada seruan dari sejumlah aktivis untuk menghentikan hukuman tersebut.
Terpidana ketiga, Mohamed Shalleh Abdul Latiff, seorang pria berusia 39 tahun, dieksekusi di Penjara Changi.
Badan Narkotika Pusat Singapura mengatakan 54 gram heroin yang diperdagangkan itu “cukup untuk memuaskan sekitar 640 pecandu selama seminggu”.
Baca juga: Singapura Eksekusi Wanita untuk Pertama Kali dalam 20 Tahun Terakhir karena Perdagangan Heroin
Pria beretnis Melayu itu ditangkap pada 2016 lalu ketika dia bekerja sebagai sopir pengiriman.
Selama proses persidangan, Abdul Latiff berkata ia yakin hanya mengantarkan rokok selundupan, bukan sebungkus heroin, untuk seorang teman.
Abdul Latiff juga mengatakan, menurut advokat anti-hukuman mati yang berbasis di Singapura Transformative Justice Collective, dia tidak memeriksa isi tas karena ia percaya dengan temannya.
Ia akhirnya dijatuhi hukuman mati pada 2019 dan bandingnya dibatalkan tahun lalu.
Hakim Pengadilan Tinggi mengatakan Abdul Latiff dan pria yang ia sebut sebagai temannya, tidak memiliki hubungan dekat yang cukup untuk menjamin kepercayaan antara kedua belah pihak.
Meskipun Abdul Latiff diketahui hanya sebagai kurir oleh pengadilan, namun dinyatakan bahwa ia dijatuhi hukuman mati karena tidak bekerja sama dengan jaksa.
Di bawah undang-undang di Singapura, siapa pun yang dihukum karena memperdagangkan lebih dari 500g ganja dan 15g heroin akan dijatuhi hukuman mati.
Mengapa Singapura meningkatkan hukuman gantung?