Sementara itu, ribuan pendukung pemimpin kudeta berunjuk rasa di sebuah stadion di ibu kota Niamey.
Dua negara tetangga Niger, Burkina Faso dan Mali, di mana kudeta juga terjadi dalam beberapa tahun terakhir, sebelumnya menunjukkan sikap pro-kudeta dengan memperingatkan bahwa mereka akan memperlakukan setiap intervensi militer dari luar di Niger sebagai "deklarasi perang" terhadap mereka.
Niger memainkan peran penting dalam perang Barat melawan milisi Islam di wilayah Sahel serta upaya memerangi penyelundupan manusia.
Krisis tersebut menimbulkan masalah yang signifikan bagi Prancis.
Prancis terancam kehilangan mitra militer di wilayah tersebut dan akses hingga 30 persen uranium yang diperlukan untuk menghasilkan tenaga nuklir.
Aset uranium Niger dikembangkan melalui usaha patungan pemerintah Niger dengan perusahaan uranium milik negara Prancis.
"Kontrak ini tidak mudah dibatalkan," kata Robert Besseling, CEO perusahaan keamanan dan intelijen, Pangea-Risk, kepada Newsweek.
"Niger pasti akan kehilangan akses ke pendanaan IMF, dukungan anggaran, dan komitmen investasi ekstensif jika kontrak pertambangan Prancis dibatalkan," katanya.
Meski begitu, operasional persusahaan China di sektor minyak di negara tersebut disebut-sebut tidak akan terpengaruh.
Dalam assesmen pasca-kudeta, Pangea-Risk, firma intelijen khusus yang menyediakan analisis dan prakiraan tentang risiko politik, keamanan, dan ekonomi di Afrika dan Timur Tengah mengatakan bahwa koalisi oposisi M62 kemungkinan berada di balik demonstrasi pro-kudeta dan anti-Prancis.
Mereka didukung oleh Unité d'Actions Syndicales du Niger—koalisi 14 serikat pekerja—yang menyerukan agar semua perusahaan Prancis meninggalkan Niger dan semua pangkalan militer asing di negara itu ditutup.
"Jika junta baru tidak secara tegas merebut kekuasaan dalam beberapa hari mendatang, kekosongan politik akan meningkatkan kemungkinan kudeta balasan dan pecahnya kerusuhan yang lebih luas," kata penilaian firma tersebut.
Situasi kritis tersebut telah menimbulkan kekhawatiran bahwa junta militer saat ini di Niger berusaha untuk beralih kesetiaan ke Rusia, yang melibatkan tentara bayaran Kelompok Wagner.
Pemimpin Grup Wagner, Yevgeny Prigozhin menyambut baik langkah melawan Prancis yang mereka labeli sebagai "penjajah".