TRIBUNNEWS.COM - Menteri Luar Negeri Prancis, Catherine Colonna mengatakan Maroko harus mencari bantuan dalam menghadapi peristiwa gempa bumi yang mematikan.
Gempa di negara Afrika tersebut sejauh ini telah menewaskan 2.500 orang serta menyebabkan 2.400 orang lainnya terluka.
Dilansir The Guardian, Prancis siap memberikan bantuan jika Maroko mengajukan permintaan.
Catherine Colonna mengatakan Prancis telah menjanjikan 5 juta euro (Rp 82 miliar) untuk membantu Maroko.
Baca juga: Korban Tewas Gempa Maroko Mencapai 2.497 Orang, Tentara dan Tim Pencari Menjangkau Area Terpencil
Namun Maroko-lah yang memutuskan siapa yang secara resmi akan membantu dan siapa yang akan dimintai bantuan.
The Guardian melaporkan, hubungan antara Prancis dan Maroko telah memburuk selama bertahun-tahun.
Keputusan Maroko untuk menerima bantuan hanya dari empat negara yaitu Inggris, Spanyol, Qatar, dan Uni Emirat Arab, dipandang sebagai indikasi bukan hanya keretakan politik.
Melainkan juga dendam pribadi antara Presiden Prancis, Emmanuel Macron dan Raja Mohammed VI.
"Ini adalah kontroversi yang tidak pantas… masyarakat menderita, masyarakat membutuhkan bantuan," kata Catherine Colonna kepada BFM TV via The Guardian.
"Kami siap membantu Maroko. Ini adalah keputusan yang berdaulat dan Maroko sendirilah yang berhak menentukan kebutuhannya."
Bantuan sebesar Rp 82 miliar akan diberikan kepada LSM-LSM yang sudah aktif di zona bencana.
Sejak gempa melanda negara asal Afrika tersebut, Macron telah beberapa kali mengindikasikan kesediaan Prancis untuk mengirimkan bantuan ke Maroko.
Namun masih belum ada tanggapan resmi dari Maroko.
Maroko sebelumnya menuduh Macron memprioritaskan hubungan baik dengan Aljazair dibandingkan dengan Rabat.
Analis Timur Tengah via The Guardian mengeklaim Macron terobsesi untuk meningkatkan hubungan dengan Aljazair, bekas jajahannya.
Ia bahkan disebut siap mengorbankan hubungan baik dengan Maroko demi tujuan tersebut.
Hal yang menjadi perdebatan adalah apa yang Rabat anggap sebagai kurangnya dukungan Prancis terhadap klaim kedaulatannya atas Sahara barat, yang merupakan isu nasional di Maroko.
Aljazair mendukung Front Polisario, sebuah kelompok yang mencari kemerdekaan di wilayah gurun.
Pada 2017, Macron melanggar tradisi dengan menjadikan Maroko, bekas protektorat Prancis, dan bukan Aljazair sebagai kunjungan kenegaraan Afrika utara pertamanya sebagai presiden.
Namun hubungan keduanya menjadi dingin sejak saat itu.
Pada tahun 2021, perang visa meletus setelah Prancis mengatakan akan membatasi visa bagi warga Maroko, Aljazair, dan Tunisia.
Kecuali negara-negara tersebut setuju untuk menerima kembali migran, yang dipandang sebagai penghinaan yang disengaja.
Pada tahun yang sama, Paris menuduh Rabat mencoba memata-matai Macron melalui ponselnya setelah nomor tersebut ditemukan dalam data proyek Pegasus, sebuah tuduhan yang dibantah raja.
Hubungan semakin memburuk tahun ini ketika Rabat menuduh Perancis berada di belakang pemungutan suara parlemen Eropa yang mengecam ancaman terhadap kebebasan pers di Maroko.
Kedua negara telah menarik duta besarnya.
(Tribunnews.com/Deni)