Rusia Balas Hillary Clinton yang Olok-olok Vladimir Putin, Ingatkan Soal Insiden Memalukan 'Tombol Reset'
TRIBUNNEWS.COM - Hillary Clinton menjadi sasaran balasan Rusia atas kritik berbau olok-olok yang dilontarkan mantan ibu negara Amerika Serikat tersebut ke Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Diketahui, Hillary Clinton, yang juga mantan menteri luar negeri AS itu, Selasa (26/9/2023) kemarin mengejek Vladimir Putin karena kekhawatirannya terhadap ekspansi NATO.
Ekspansi NATO, yang ditentang keras oleh Moskow. memang menjadi concern terbesar Vladimir Putin yang menilai akan mengancam keamanan nasional Rusia.
Baca juga: AS Diminta Tak Usah Sok Ngajarin Ukraina Perang Lawan Rusia, Standar Tempur NATO Cuma Propaganda
Kekhawatiran Putin ini dianggap berlebihan, diolok-olok oleh Hillary sebagai hal yang justru menyebabkan NATO kian bersiap melindungi negara-negara anggotanya lantaran aksi Putin menginvasi Ukraina sebagai langkah preventif.
“Mempertahankan demokrasi di Ukraina, perluasan NATO – hanya sebagai tambahan, sayang sekali Vladimir, Anda sendiri yang melakukannya,” katanya di Departemen Luar Negeri, yang memicu tawa dan tepuk tangan.
Clinton melontarkan ejekannya ke Putin saat berada di Kantor Departemen Luar Negeri di mana dia memperlihatkan potret resminya dan berbicara kepada para pejabat dan mantan pejabat di Ruang Makan Negara Bagian Benjamin Franklin yang penuh hiasan.
“Kami selalu mengatakan, ‘masyarakat tidak dipaksa untuk bergabung dengan NATO. Masyarakat memilih dan ingin bergabung dengan NATO,’” tambahnya.
Balasan Menohok Kremlin, Tombol Reset Simbol Kebodohan AS
Sebagai tanggapan, juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov mengatakan Hillary Clinton dikenal di Rusia karena upayanya untuk membalikkan situasi.
Hal itu merujuk pada upaya AS menormalisasi hubungannya dengan Rusia pada 2009 silam di bawah kepemimpinan Barack Obama.
Dari momen itu, Kremlin mengingatkan kembali Hillary Clinton pada insiden 'tombol reset'.
Sebagai informasi, sebagai tanda simbolis normalisasi hubungan kedua negara yang tegang di pemerintahan George Bush, Hillary Clinton yang saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS memberikan kado berupa 'tombol reset' (berbentuk tombol merah mirip tombol emergensi darurat) ke Menteri Luar Negeri Rusia saat itu, Sergey Lavrov dalam sebuah pertemuan.
Hanya, ada kesalahan teknis dari niat baik yang terwujud dalam tombol merah itu.
Pada saat itu, Sergei Lavrov mengatakan kepada Hillary kalau kata Rusia yang digunakan AS tidak benar.
Rupanya, tombol itu bertuliskan Peregruzka (kata dalam bahasa Rusia untuk “overcharge”/kelebihan beban) dan bukan Perezagruzka (yang dalam bahasa Rusia berarti 'reset').
Meski begitu, saat itu Lavrov mengatakan bahwa tombol tersebut akan diletakkan di mejanya.
Hingga kini, Kremlin masih memajang tombol tersebut di museum Kementerian Luar Negeri, bukan sebagai suvenir persahabatan AS-Rusia, melainkan sebagai simbol kebodohan Amerika.
Mengingat insiden tersebut, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menyebut hal itu sebagai kebodohan yang nyata dari kecerobohan AS.
“Jelas bahwa ini mungkin bukan kesalahan yang disengaja, tapi sangat jelas,” kata Peskov.
Selain itu, Peskov juga mengajak Clinton untuk berpikir realistis pada risiko keamanan yang dihadapi Rusia atas manuver NATO.
"Mungkin perlu untuk mengingatkan Nyonya Clinton mengenai banyaknya gelombang ekspansi NATO dan pendekatan infrastruktur militer aliansi tersebut ke perbatasan kami," kata Peskov.
Seperti dilaporkan sebelumnya, Kremlin hari ini juga menuduh AS dan Inggris bertanggung jawab atas ledakan pipa gas Nord Stream tahun lalu dan mendukung Ukraina dalam serangan ke markas besar armada Laut Hitam baru-baru ini di Krimea.
Baca juga: Tanda Perang Terbuka, Rusia Resmi Tuding AS-Inggris Pandu Rudal Ukraina ke Mabes Armada Laut Hitam
(oln/sky/politico/nationalreview/*)