TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyoroti soal dugaan adanya suplai 400 juta peluru dari Indonesia ke pemerintah junta militer Myanmar.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative sekaligus anggota Koalisi Sipil, Al Araf mengatakan, isu tersebut merupakan persoalan serius.
Ia menilai, Presiden dan DPR tidak bisa lepas tanggung jawab atas masalah ini, karena situasi di Myanmar mengalami krisis kemanusiaan yang berat. Sementara Indonesia diduga menyuplai senjata yang menyebabkan terjadinya krisis kemanusiaan tersebut.
"Dalam konteks itu, jangankan menyuplai senjata, tidak menyuplai senjata saja kita sudah protes atas apa yang terjadi di Myanmar, pembantaian terhadap etnis Rohingya, pembantaian terhadap rakyatnya sendiri pasca kudeta. Apa lagi ini pemerintah Indonesia menyuplai senjata bagi junta militer di Myanmar. Pemerintah harus bertanggung jawab," katanya dalam diskusi Catatan Publik “Junta Myanmar, Pelanggaran HAM dan Problematika Suplai Senjata dari Indonesia” di Café Sadjoe, Jakarta (9/10/2023).
Ia menilai pemerintah Indonesia, termasuk menteri-menteri terkait harusnya bisa menilai track record negara Myanmar. Dalam bisnis persenjataan tidak bisa dilakukan secara bisnis as usual, mereka yang menyuplai persenjataan, harus juga ikut bertanggung jawab."
Ia juga mengingatkan, untuk itu, Presiden secara resmi harus meminta kepada junta militer Myanmar untuk tidak menggunakan senjata tersebut untuk melakukan pelanggaran HAM.
Dalam diskusi kali ini menghadirkan juga Julius Ibrani Ketua PBHI Nasional, Shiskha Prabawaningtyas (Akademisi universitas paramadina), juga Feri Amsari (Themis Law Firm dan Akademisi Universitas Andalas).
Kronologi
Seperti diberitakan sebelumnya, tiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN), meliputi PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia, dilaporkan menyuplai senjata untuk junta Militer Myanmar.
Dikutip dari Kompas.com, laporan ini disampaikan oleh para penggiat HAM melalui kuasa hukumnya, Feri Amsari, kepada Komnas HAM, belum lama ini.
Organisasi yang mengajukan pengaduan tersebut mencakup dua organisasi Myanmar, yaitu Chin Human Rights Organisation dan Myanmar Accountability Project, serta mantan jaksa agung dan aktivis HAM Indonesia Marzuki Darusman.
Dalam pengaduannya, mereka menuduh tiga BUMN yang merupakan produsen senjata telah memasok peralatan ke Myanmar melalui perusahaan Myanmar bernama True North. Menurut mereka, perusahaan ini dimiliki oleh putra seorang menteri di Myanmar.
Para aktivis mengatakan Myanmar telah membeli berbagai barang dari perusahaan tersebut, termasuk pistol, senapan serbu, dan kendaraan tempur.
Laporan dari para penggiat HAM ini lantas dibenarkan oleh Komnas HAM sebagai institusi yang menerima pengaduan.