TRIBUNNEWS.COM - Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) membebaskan dua sandera wanita lansia pada Senin (23/10/2023).
Juru bicara sayap bersenjata Hamas mengatakan kedua tawanan Israel itu dibebaskan setelah adanya mediasi dari Qatar dan Mesir.
Dalam sebuah pernyataan pada Senin (23/10/2023), juru bicara Hamas, Abu Obeida, mengatakan di saluran Telegram Hamas, para tawanan telah dibebaskan karena alasan kemanusiaan dan alasan kesehatan yang buruk.
Pembebasan dua sandera, Yocheved Lifshitz (85) dan Nurit Cooper (79), telah dikonfirmasi oleh Komite Palang Merah Internasional (ICRC), yang juga memfasilitasi pembebasan mereka.
“Kami berharap mereka segera kembali bersama orang-orang yang mereka cintai,” kata ICRC di X (Twitter), Senin (23/10/2023).
Pembebasan sandera pertama terjadi pada Jumat (20/10/2023), ketika Hamas membebaskan dua wanita berkewarganegaraan Amerika Serikat (AS), Judith Raanan dan putrinya Natalie, setelah ditengahi oleh Qatar.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar mengatakan pembebasan tersebut dilakukan setelah komunikasi terus menerus selama berhari-hari dengan semua pihak yang terlibat, dikutip dari Al Jazeera.
Sebelumnya, juru bicara Hamas, Abu Obeida, menyatakan Hamas menawarkan untuk membebaskan dua tawanan tambahan bersama Judith dan Natalie pada Jumat (20/10/2023) lalu, namun ditolak oleh otoritas Israel.
Israel menyebut klaim tersebut sebagai propaganda palsu dan menyatakan Hamas berusaha memperbaiki citranya.
Israel Rencanakan Invasi Darat, Keluarga Korban Dilema
Baca juga: Israel Kini Kobarkan Perang di Tiga Front: Gaza, Lebanon, dan Suriah, AS Kirim Tambahan Rudal
Keluarga korban yang diculik dan ditawan dihadapkan pada dilema saat militer Israel bersiap untuk melakukan invasi darat setelah mengepung Jalur Gaza.
Beberapa keluarga mendesak pemerintah Israel untuk memprioritaskan pembebasan sandera, sementara yang lain memberikan penekanan agar Israel segera menyerang Hamas.
“Kita perlu berbicara dengan Hamas. Kita tidak bisa selalu melakukan perang. Kami punya begitu banyak tahanan Palestina yang bisa kami tukarkan dengan rakyat kami,” kata Carmel Gorni, seorang aktivis politik yang sepupunya Yiftah Gorni terbunuh dalam serangan itu, kepada kantor berita Reuters.
“Jika tentara kita masuk, banyak orang akan mati, termasuk para sandera,” lanjutnya.