Negara Kedua di Timur Tengah dengan PDB Terbesar, Dari Mana Sumber Uang Israel?
TRIBUNNEWS.COM - Produk domestik bruto (PDB) Israel disebutkan melonjak menjadi 501 miliar dolar AS (Rp 7.762,8 Triliun) pada tahun lalu.
Angka ini, dalam situasi normal tanpa memperhitungkan dampak Perang Gaza, diperkirakan akan meningkat menjadi 611 miliar dolar AS (Rp 9.467,2 T) pada tahun 2026.
Israel kini disebut-sebut sebagai negara dengan perekonomian terbesar ke-29 di dunia dalam hal PDB.
Baca juga: IDF Alami Masalah Besar Saat Gencatan Senjata: Prajurit Israel Berkurang, Suporter Hamas Bertambah
Lalu apa yang menambah kas negara Israel?
Oleg Burunov, Koresponden Sputnik yang mengkhususkan diri dalam urusan luar negeri dan pertahanan, mengulas, pendapatan per kapita Israel kini mencapai 58.273 dolar AS.
Artinya, pendapatan rata-rata warga Israel mencapai Rp 902,9 juta per tahun.
Angka ini menjadi yang tertinggi kedua di Timur Tengah setelah Qatar ($83.890), menurut database World Economic Outlook milik Dana Moneter Internasional.
"Angka ini merupakan lompatan besar dibandingkan tahun 1980-an, ketika negara bagian ini dilanda berbagai kesulitan ekonomi, termasuk hiperinflasi dan ketergantungan yang besar pada impor, sehingga pendapatan per kapita negara tersebut hanya bernilai sekitar 6.600 dolar AS," tulis Oleg.
Berbagai sumber memuji kekuatan finansial Israel saat ini karena serangkaian faktor penting, termasuk kontribusi besar AS, langkah-langkah yang diambil setelah krisis ekonomi pada awal tahun 1980-an, investasi besar dalam penelitian dan pengembangan, ekspor teknologi tinggi, dan industri pariwisata yang makmur.
Bantuan AS
Komitmen Washington untuk membantu Tel Aviv mempunyai akar yang sudah ada sejak 14 Mei 1948, ketika AS menjadi negara pertama yang mengakui Israel sebagai negara merdeka.
Menurut sumber terbuka, AS telah memberi Israel lebih dari 260 miliar dolar AS bantuan gabungan militer dan ekonomi sejak saat itu, juga memberikan kontribusi sekitar 10 miliar dolar AS lebih untuk sistem pertahanan rudal Israel seperti Iron Dome.
Pada tahun 2016, Presiden AS saat itu Barack Obama menandatangani perjanjian mengenai paket bantuan militer keseluruhan sebesar 38 miliar dolar AS ke Israel antara tahun 2017 dan 2028.
Dorongan AS untuk memberikan banyak bantuan kepada Israel dapat dikaitkan dengan serangkaian faktor, termasuk kewajiban bersejarah Amerika sejak dukungannya terhadap pembentukan negara Yahudi pada tahun 1948.
Selain itu, AS memandang Israel sebagai negara sekutunya yang sangat penting di Timur Tengah. Secara formil, Washington menilai Israel memiliki kesamaan tujuan dan memiliki komitmen bersama terhadap apa yang disebut sebagai “nilai-nilai demokrasi.”
Secara geopolitik, Israel menjadi sekutu sentral AS untuk menancapkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah.
Menurut US Congressional Research Service, “bantuan luar negeri Amerika telah menjadi komponen utama dalam memperkuat dan memperkuat hubungan ini [Tel Aviv-Washington]. Para pejabat AS dan banyak anggota parlemen telah lama menganggap Israel sebagai mitra penting di kawasan ini.”
Badan bantuan luar negeri pemerintah AS, pada gilirannya, mengatakan kalau bantuan Amerika “membantu memastikan bahwa Israel mempertahankan Keunggulan Militer Kualitatif (QME) terhadap potensi ancaman regional.”
Badan tersebut menambahkan kalau tujuannya adalah untuk memastikan Israel “cukup aman untuk mengambil langkah bersejarah yang diperlukan untuk mencapai perjanjian damai dengan Palestina dan untuk perdamaian regional yang komprehensif.”
Krisis Ekonomi Berubah Menjadi Kesuksesan?
Dalam sebuah wawancara dengan sebuah surat kabar online India, Profesor Tomer Fadlon, dosen dan penasihat akademis untuk program master di bidang siber, politik dan pemerintahan di Universitas Tel Aviv, mengatakan kalau sejarah Israel mencerminkan “kisah sukses sebuah bangsa yang menghadapi krisis sumber daya yang parah."
“Kelangkaan ditambah dengan krisis ekonomi itulah yang membuat kita mencari yang lebih baik dan lebih jauh lagi, serta mencari jalan untuk bertumbuh. Langkanya sumber daya membuat kita bekerja lebih keras, dan hal ini merangkum seluruh keberhasilan ekonomi yang telah terjadi,” ia menggarisbawahi poin terpenting dari kesuksesan Israel sebagai sebuah negara.
Menggenjot Riset and Development
Profesor tersebut merujuk pada liberalisasi ekonomi Israel pada tahun 1985 sebagai bagian dari reformasi ekonomi, yang terjadi setelah krisis ekonomi di negara tersebut pada tahun-tahun sebelumnya, ketika pemerintah Israel menghabiskan banyak uang untuk pertahanan.
Menurutnya, salah satu hasil positif dari liberalisasi ekonomi adalah dorongan Israel untuk berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D).
“… Israel membuka pintu bagi investasi asing langsung (FDI), dan pengeluaran pemerintah untuk keamanan dan pertahanan turun dari sekitar 25 persen PDB menjadi sekitar 5-6%,” Fadlon menekankan.
Dia menambahkan kalau pada awal tahun 1990an, Israel mulai mengeluarkan banyak dana untuk penelitian dan pengembangan.
“Akibatnya, pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sebagai bagian dari PDB meningkat drastis hingga 5% dan menciptakan kesenjangan antara Israel dan negara-negara lain,” kata profesor tersebut.
Pada tahun 2021, pengeluaran Israel untuk penelitian dan pengembangan melonjak hingga 5,6% dari PDB, tertinggi di dunia yang diikuti oleh Korea Selatan (4,9%) dan Taiwan (3,8%), merujuk pada data perkiraan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) atau Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan.
"Kami [Israel] beruntung karena kami menghabiskan dana (untuk) penelitian jauh sebelum orang lain dan, pada saat teknologi informasi berkembang pesat, kami telah mencapai keunggulan komparatif," kata Fadlon.
Ekspor Teknologi Tinggi
Banyak pihak mengaitkan peningkatan pendapatan per kapita Israel setelah tahun 2006 dengan ekspor teknologi berkualitas tinggi dalam jumlah besar pada saat itu.
Comtrade PBB (gudang statistik perdagangan global) mendefinisikan ekspor teknologi tinggi sebagai "produk dengan intensitas penelitian dan pengembangan yang tinggi, seperti di bidang kedirgantaraan, komputer, obat-obatan, instrumen ilmiah, dan mesin listrik."
Menurut data UN Comtrade, ekspor teknologi tinggi Israel bernilai 3,12 miliar dolar AS pada tahun 2007, dan pada tahun-tahun berikutnya angka tersebut meningkat secara bertahap.
Pada tahun 2021, Tel Aviv mengekspor teknologi tinggi senilai 17 miliar dolar AS, yang merupakan sepertiga dari ekspor manufakturnya.
Ekspor lainnya berkaitan dengan pemotongan berlian, minyak sulingan, produk pertanian, bahan kimia, tekstil, dan pakaian jadi.
Data Otoritas Inovasi Israel menunjukkan bahwa negara ini menempati peringkat pertama di dunia dalam hal persentase PDB dari industri teknologi tinggi (15%) dan persentase tenaga kerja di bidang teknologi tinggi (10%).
Industri Pariwisata
Pariwisata di Israel tetap menjadi salah satu sumber pendapatan utama negara tersebut, dengan pendapatan diperkirakan mencapai total 3,48 juta dolar AS sebelum akhir tahun ini, menurut statistik resmi.
Angka tersebut diproyeksikan meningkat menjadi 4,45 juta dolar AS pada tahun 2027.
Menurut sumber-sumber Israel, sejauh ini negara tersebut telah menerima 2,5 juta wisatawan pada tahun 2023, sementara Israel mencatat masuknya wisatawan terbesar dengan 4,9 juta pengunjung pada tahun 2019.
Sementara itu, perusahaan pemeringkat S&P Global mengklaim kalau potensi penghentian pariwisata di Israel karena konflik bersenjata yang sedang terjadi di negara tersebut dengan kelompok militan Palestina, Hamas mungkin memiliki dampak “minimal” terhadap perekonomian negara Yahudi tersebut.
(oln/sptnk/*)