TRIBUNNEWS.COM - Pemerintahan Amerika Serikat (AS) yang dipimpin Presiden Joe Biden diam-diam menyusun rencana selama berminggu-minggu untuk mengubah Jalur Gaza.
Rencana ini disusun dengan skenario jika Israel berhasil mengalahkan kelompok bersenjata, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) yang berkuasa di Jalur Gaza.
AS membayangkan Otoritas Pembebasan Palestina (PLO), yang berkuasa di Tepi Barat, akan mengambil alih kepemimpinan di Jalur Gaza untuk menggantikan Hamas.
"Para pejabat di Departemen Luar Negeri, Gedung Putih, dan lainnya telah memaparkan bagian-bagian strategi tersebut dalam berbagai dokumen posisi dan pertemuan antarlembaga sejak pertengahan Oktober," menurut dua pejabat AS, lapor POLITICO, Selasa (5/12/2023).
Dua narasumber tersebut adalah seorang pejabat Departemen Luar Negeri dan seorang pejabat pemerintah yang mengetahui diskusi tersebut, berbicara dengan syarat anonim.
Baca juga: Starbucks dan H&M Maroko Hengkang dari Maroko Buntut Kampanye Boikot Produk Pro-Israel
PLO Harus Diubah untuk Memerintah di Jalur Gaza
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, secara terbuka mengatakan struktur PLO dapat direvitalisasi untuk mengambil peran pemerintahan di Jalur Gaza.
Menurut AS, PLO dalam bentuknya saat ini tidak bisa memerintah Jalur Gaza, sehingga harus diubah.
Tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan revitalisasi PLO dan bagaimana itu dilakukan.
Namun, rencana yang disampaikan oleh Antony Blinken ditolak oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang tidak ingin PLO berkuasa di Jalur Gaza, dikutip dari The Guardian.
Sementara itu, AS tidak memiliki pilihan yang lebih baik selain menempatkan PLO di Jalur Gaza jika Hamas berhasil digulingkan.
Sebelumnya, Presiden PLO, Mahmoud Abbas menolak untuk menguasai Jalur Gaza melalui genosida yang dilakukan Israel di sana dan hanya menerima jalur diplomatik.
Baca juga: Israel Terus Gempur Gaza, Jaringan Internet dan Komunikasi Lumpuh Total
"Ini adalah pilihan yang paling memungkinkan. Kami terjebak," kata pejabat Departemen Luar Negeri, menggambarkan kebuntuan dalam diskusi itu.
“Ada preferensi kebijakan yang kuat bagi Otoritas Palestina untuk memainkan peran pemerintahan di Gaza, namun mereka mempunyai tantangan legitimasi dan kemampuan yang signifikan,” lanjutnya.
Menurut rencana ini, akan ada rekonstruksi di Jalur Gaza setelah pertempuran Israel dan Hamas berakhir.
AS berpendapat, kekuatan internasional dibutuhkan untuk menstabilkan Jalur Gaza setelah hancur pascaperang, termasuk perubahan PLO yang akan mengambil kekuasaan.
AS akan Berperan Lewat Koordinator Keamanan
Baca juga: Israel Disebut Sengaja Bunuh Sipil di Gaza, AS: Kami Tak Melihat Ada Bukti
Bagian penting dari rencana itu adalah peningkatan keamanan dari AS kepada PLO di Jalur Gaza nantinya.
AS berharap dapat menciptakan negara Palestina yang berdampingan dengan Israel secara damai.
Dalam rencananya, AS akan menempatkan koordinator keamanan di Jalur Gaza melalui Biro Narkotika Internasional dan Urusan Penegakan Hukum Departemen Luar Negeri AS.
Sebelumnya, AS juga menugaskan koordinator keamanannya untuk menasehati pasukan keamanan Palestina di masa lalu.
“Pada akhirnya, kami ingin memiliki struktur keamanan Palestina di Gaza pasca-konflik,” kata seorang pejabat senior pemerintahan Biden.
Hambatan
Meski demikian, semua rencana itu akan menghadapi banyak hambatan, termasuk kecurigaan Israel dan kritik dari negara-negara Arab.
Saat ini, yang masih menjadi kekhawatiran AS adalah ketidaktahuan akan seberapa besar kekuatan Hamas yang mungkin tetap ada di Jalur Gaza bahkan setelah perang berakhir.
"Yang belum diketahui adalah apa sebenarnya yang tersisa dari Hamas di Gaza," kata pejabat AS itu.
Meski jumlah anggota Hamas sedikit, namun akses persenjataan dan kemampuan tempur mereka telah diperhitungkan oleh negara lain yang memilih tidak terlibat perang.
Hamas Palestina vs Israel
Sebelumnya, Israel melakukan pengeboman besar-besaran untuk menanggapi Hamas yang memulai Operasi Banjir Al-Aqsa dengan menerobos perbatasan Israel dan Jalur Gaza pada Sabtu (7/10/2023) pagi.
Hamas mengatakan, serangan itu adalah tanggapan atas kekerasan yang dilakukan Israel terhadap Palestina selama ini, terutama kekerasan di kompleks Masjid Al Aqsa, seperti diberitakan Al Arabiya.
Kelompok tersebut menculik 240 orang dari wilayah Israel dan meluncurkan ratusan roket, yang menewaskan lebih dari 1.200 orang di wilayah Israel.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengumumkan perang melawan Hamas dan meluncurkan pasukan ke Jalur Gaza pada keesokan harinya.
Pemboman Israel di Jalur Gaza menewaskan lebih dari 15.500 warga Palestina sejak Sabtu (7/10/2023) hingga perhitungan korban pada Selasa (5/12/2023), lebih dari 1,8 juta orang mengungsi, dikutip dari Al Jazeera.
Selain itu, kekerasan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina juga terjadi di Tepi Barat, wilayah yang dipimpin Otoritas Pembebasan Palestina (PLO).
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel