TRIBUNNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat (AS) kembali menggelar proses pemakzulan presiden.
Pada Rabu (13/12/2023), DPR AS secara sah membuka penyelidikan pemakzulan terhadap Presiden Joe Biden.
Jika komite memutuskan untuk melanjutkan pemakzulan, seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat akan melakukan pemungutan suara.
Apabila mayoritas memilih ya, Biden akan dimakzulkan, dikutip dari CNN.
Senat kemudian akan mengadakan persidangan dan memberikan suara (vote) apakah akan mencopot presiden dari jabatannya.
Terlepas dari kenyataan, semua anggota Partai Republik di DPR memilih untuk secara resmi membuka penyelidikan.
Baca juga: Pertama Kali Dalam Sejarah AS, Trump Akan Hadapi Impeachment Kedua Kali
Beberapa tampak ragu-ragu untuk mendukung pemakzulan penuh, karena takut akan dampak politik yang besar.
Sebuah jajak pendapat dari CNN pada bulan Oktober menunjukkan bahwa 57 persen warga Amerika berpendapat bahwa Biden tidak seharusnya dimakzulkan.
Menurut Washington Post, angka tersebut antara 10 dan 14 poin lebih tinggi dibandingkan jajak pendapat serupa yang diambil mengenai sikap terhadap dua pemakzulan Donald Trump.
Bahkan jika DPR memutuskan untuk memakzulkan Biden, kecil kemungkinan dia akan dicopot dari jabatannya.
Sebanyak 40 senator harus memilih untuk menghukum Biden agar hal itu bisa terjadi, dan dengan Partai Demokrat yang menguasai Senat, hasil tersebut hampir mustahil didapat.
Vote DPR AS pada Rabu (13/12/2023), bisa saja benar-benar membawa Biden dimakzulkan.
Dikutip dari BBC, pemakzulan bisa diartikan sebuah hukuman mati bagi seorang presiden.
Sudah berbulan-bulan pihak berwenang melakukan investigasi, tapi belum ada bukti konkrit yang menguatkan soal tuduhan pelanggaran yang dilkukan Biden.