TRIBUNNEWS.COM - Jepang bersikap hati-hati di tengah perang antara Israel dan Hamas.
Awalnya Jepang mengutuk serangan Hamas di Israel pada 7 Oktober lalu.
Namun, Jepang menahan diri untuk tidak melabeli Hamas sebagai organisasi teroris seperti Amerika dan negara-negara Barat lainnya.
Selain itu, Jepang tidak mengikat dirinya dalam komunike bersama pada tanggal 9 Oktober, yang dengan tegas mengutuk Hamas serta tindakannya.
Komunike itu ditandatangani oleh Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Jerman dan Italia.
"Tokyo bukan pro-Israel seperti negara-negara Barat," lapor surat kabar harian bisnis Nikkei.
Baca juga: Jepang Kembali Jatuhkan Sanksi Terhadap Tiga Anggota Senior Hamas
Sejak tanggal 7 Oktober, posisi Jepang telah berkembang secara terukur, menurut penulis buku sekaligus pakar dari Le Monde, Philippe Pons.
Berbeda dengan para pemimpin G7 lainnya, Perdana Menteri Fumio Kishida tidak melakukan perjalanan ke Israel untuk menjanjikan dukungan negaranya terhadap negara Yahudi tersebut.
Namun, menteri luar negerinya, Yoko Kamikawa, akhirnya menyebut serangan Hamas sebagai "serangan teroris".
Kamikawa mengunjungi Israel pada 2 November untuk memohon deeskalasi dan menyerukan gencatan senjata kemanusiaan, dan kemudian mengadakan pembicaraan di Yordania.
Dialog dengan Iran
Sikap Jepang yang berhati-hati dalam perang Israel-Hamas kontras dengan keinginan Jepang untuk bergabung dengan kubu Barat sejak dimulainya agresi Rusia di Ukraina, menurut Pons.
Meskipun perang ini memungkinkan Jepang untuk tampil sebagai sekutu di kubu Barat melawan Rusia dan China, dalam kasus konflik antara Israel dan Hamas, Jepang masih tertinggal satu langkah di belakang Amerika.
Saat rapat Dewan Keamanan PBB pada tanggal 18 Oktober, Jepang, seperti Prancis, memberikan suara mendukung gencatan senjata untuk memungkinkan akses yang cepat, aman dan tanpa hambatan ke badan-badan kemanusiaan PBB.
Namun, resolusi itu diveto oleh Amerika Serikat.
Bagi Tokyo, eskalasi Israel-Hamas bukanlah “kebakaran di seberang sungai”, sebuah ungkapan dalam bahasa Jepang yang berarti "sebuah insiden yang bukan urusan Anda."
Baca juga: Tahun 2024 Jepang akan Berlakukan Sistem Baru Pemagangan Pekerja Asing
Jepang sedang menguji pendekatannya terhadap Palestina, yang mencakup hak sah Palestina untuk menjadi sebuah negara.
Inilah landasan diplomasi Tokyo di Timur Tengah.
Jepang tertarik pada Timur Tengah karena sumber daya minyaknya, pasarnya, investasinya, dan jalur perairan internasionalnya termasuk Teluk Persia dan Terusan Suez.
Kebutuhan energi Jepang menjadikan kawasan Timur Tengah penting, menurut Simran Walia, peneliti Centre for Air Power Studies (CAPS) yang berfokus pada politik luar negeri Jepang.
Jepang adalah mitra dagang penting bagi Timur Tengah.
Perdamaian dan stabilitas kawasan ini sangat penting bagi Jepang dan seluruh komunitas internasional karena jalur perdagangan utama untuk impor dan ekspor bahan-bahan penting.
Meski seringkali sejalan dengan posisi Amerika, Jepang menghindari perintah Washington dengan melakukan diplomasi seimbang dengan negara-negara Arab.
Jepang juga mempertahankan dialog berkelanjutannya dengan Iran.
Selama krisis minyak yang dipicu oleh Perang Yom Kippur pada bulan Oktober 1973, Menteri Luar Negeri AS saat itu Henry Kissinger mengunjungi Tokyo untuk mendesak Perdana Menteri Kakuei Tanaka (1918-1993) agar tidak mengambil sikap pro-Arab.
Tanaka membalas, "Kemakmuran Jepang bergantung pada minyak dari Timur Tengah. Apakah Amerika Serikat siap memasok minyak?"
Baca juga: 80 Jenazah Palestina Tiba di Gaza, Beberapa dalam Kondisi Tak Utuh, Israel Diduga Curi Organ Mereka
Henry Kissinger terdiam mendengar pertanyaan itu.
Empat tahun kemudian, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) membuka kantor perwakilan di Tokyo, kemudian pada tahun 2003 dibuka satu lagi oleh Otoritas Palestina.
Jepang sendiri membuka kantor perwakilan di Gaza, dan kemudian memindahkannya ke Ramallah, Tepi Barat.
Jepang Jatuhkan Sanksi kepada 3 Petinggi Hamas
Kini, dalam sebuah langkah tegas, Jepang telah menjatuhkan sanksi terhadap tiga anggota senior Hamas.
Orang-orang yang terkena sanksi itu, yang tidak disebutkan namanya, diyakini terlibat dalam serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober.
Mereka dinilai berpotensi melakukan serangan serupa di masa depan, ujar Sekretaris Kabinet Utama Jepang, Hayashi Yoshimasa.
Pembatasan keuangan dan larangan perjalanan bertujuan untuk memberikan tekanan yang signifikan terhadap kelompok tersebut, BNN melaporkan.
Langkah Jepang ini menunjukkan potensi pergeseran ke arah upaya diplomatik baru untuk menghentikan serangan Israel yang menghancurkan di Jalur Gaza.
Sanksi ini muncul setelah meningkatnya tekanan terhadap Israel untuk mengurangi konflik.
Keputusan Jepang tersebut juga menjadi pesan tegas kepada Hamas dan kelompok lainnya bahwa Jepang siap mengambil tindakan tegas untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)