Menurut Organisasi Kesehatan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO), meskipun perawatan kritis diperlukan, delapan dari 36 rumah sakit di Jalur Gaza hanya berfungsi sebagian.
“Seolah-olah ada bencana alam yang mencegah anestesi memasuki Gaza,” kata pendiri Dana Bantuan Anak-Anak Palestina (PCRF) Steve Sosebee dalam sebuah wawancara dengan Democracy Now.
Baca juga: Ribuan Anak Jadi Korban Pembunuhan Tentara Israel, UNICEF Jadikan Gaza Tempat Paling Bahaya di Dunia
“Benar-benar tidak terbayangkan hal ini terjadi di dunia modern kita,” katanya.
Menurut Sosebee, jumlah anak yang diamputasi kemungkinan akan bertambah karena banyak dari mereka mengalami cedera parah yang berarti mereka memerlukan amputasi dalam beberapa minggu dan bulan mendatang.
“Tidak hanya mereka diamputasi tanpa anestesi, namun banyak dari mereka yang diamputasi dengan terburu-buru,” katanya.
Menurut PCRF, sebelum tanggal 7 Oktober, Gaza sudah menderita “krisis diamputasi,” di mana layanan kesehatan memerlukan rujukan medis bagi warga Palestina di wilayah tersebut.
Kondisi saat ini memperparah situasi.
Statistik sebelum bulan Oktober menunjukkan bahwa 12 persen anak-anak Palestina berusia 2-17 tahun mengalami satu atau lebih kesulitan fungsional.
Sementara 21 persen rumah tangga di Gaza memiliki setidaknya satu anggota keluarga yang menderita cacat fisik atau mental.
Prosedur operasi, termasuk amputasi, tidak hanya dilakukan tanpa anestesi tetapi juga dilakukan secara terburu-buru karena anak-anak tidak mempunyai waktu untuk pulih, kata pejabat UNICEF.
Bahkan mereka yang bisa menjalani pemulihan pun tetap menderita ancaman kematian akibat serangan udara dan pemboman Israel, kata juru bicara UNICEF.
“Jalur Gaza adalah tempat paling berbahaya di dunia bagi anak-anak. Dan hari demi hari, kenyataan brutal itu semakin diperkuat,” kata Elder dalam pernyataan pada bulan Desember di Palais des Nations di Jenewa.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)