TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan kemarahannya kepada Qatar yang mengatakan negosiasi terkait pembebasan orang-orang yang disandera oleh Hamas saat ini menjadi sulit.
Media Israel, Channel 13 Israel, pada Senin (8/1/2024), melaporkan diskusi pemerintah Israel baru-baru ini yang menegaskan kemarahan Netanyahu.
"Tekanan lebih besar harus diberikan kepada Doha (Ibukota Qatar)," kata Netanyahu.
Sebelumnya, Netanyahu meminta tim perunding dari Israel untuk memverifikasi tingkat kemajuan mediasi Qatar terkait berkas pembebasan sandera di Gaza.
Negosiasi tersebut menjadi alot setelah Israel membunuh Wakil Kepala Biro Politik Hamas, Saleh Al-Arouri, di Lebanon pada Selasa (2/1/2024) malam.
Qatar, yang menjadi penengah antara Israel dan Hamas, mengatakan pembunuhan Saleh Al-Arouri memengaruhi negosiasi pembebasan sandera.
Qatar: Pembunuhan Saleh Al-Arouri Hambat Negosiasi
Menteri Luar Negeri Qatar, Mohammed bin Abdul Rahman Al Thani, mengatakan pembunuhan pemimpin Hamas, Saleh Al-Arouri, memperumit negosiasi mengenai pembebasan sandera Israel yang ditahan di Gaza.
Hal itu disampaikan selama konferensi pers dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Antony Blinken, di Doha, Qatar pada Minggu (7/1/2024).
“Serangan terhadap pemimpin senior Hamas mempersulit negosiasi mengenai pembebasan sandera,” katanya.
“Kami mengalami tantangan dalam negosiasi yang sedang berlangsung mengenai pembebasan sandera,” lanjutnya.
Baca juga: 4 Sandera IDF Muncul di Video, Hamas: Mereka Terbunuh oleh Serangan Israel di Shujaiya
Sementara itu, media AS, Axios mengutip seorang pejabat Qatar yang juga mengatakan hal yang sama.
“Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdul Rahman Al Thani, memberi tahu keluarga 6 tahanan Amerika dan Israel, di Doha, bahwa pembunuhan Saleh Al-Arouri mempersulit upaya untuk mengamankan perjanjian baru untuk pertukaran sandera," lapor Axios, Minggu (7/1/2024).
Selain pembunuhan itu, pejabat Qatar juga mengatakan pemboman di Jalur Gaza semakin mempersulit negosiasi pembebasan sandera.
“Mempertahankan saluran komunikasi dengan Hamas menjadi lebih sulit, karena meningkatnya pemboman di Gaza dan tempat lain,” tambahnya.
Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh, mengatakan tidak akan ada pembebasan sandera kecuali Israel mematuhi syarat dari Hamas.
“Tahanan Israel tidak akan dibebaskan kecuali jika ada syarat perlawanan,” kata Ismail Haniyeh kapda Al Arabiya, Selasa (2/1/2024).
Hamas Palestina vs Israel
Setelah gagalnya perpanjangan gencatan senjata kemanusiaan pada Jumat (1/12/2023), Qatar sebagai mediator berupaya untuk membuat negosiasi baru antara Hamas dan Israel.
Setelah pertukaran sandera selama 7 hari yang dimulai Jumat (24/11/2023), 105 sandera sipil telah dibebaskan, termasuk 81 orang Israel, 23 warga Thailand, dan satu warga Filipina, yang ditukar 240 tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel, dikutip dari The Times of Israel.
Hamas menolak untuk mengungkap jumlah sandera yang masih ditahannya, sementara Israel memperkirakan masih ada sekitar 137 sandera di Jalur Gaza.
Sebelumnya, Hamas meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa dengan menerobos perbatasan Israel dan Jalur Gaza pada Sabtu (7/10/2023) pagi.
Hamas mengatakan, serangan itu adalah tanggapan atas kekerasan yang dilakukan Israel terhadap Palestina selama ini, terutama kekerasan di kompleks Masjid Al Aqsa, dikutip dari Al Arabiya.
Kurang lebih 240 orang diculik oleh Hamas dari wilayah Israel yang berbatasan dengan Jalur Gaza.
Jumlah korban jiwa di pihak Palestina di Jalur Gaza terhitung 22.722 hingga Minggu (7/1/2024) dan 1.200 orang tewas di wilayah Israel, yang direvisi menjadi 1.147.
Selain itu, tercatat 325 kematian warga Palestina di Tepi Barat hingga Kamis (4/1/2023), setelah faksi-faksi perlawanan di sana melawan Israel yang melakukan penyerbuan besar-besaran.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel