News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Konflik Palestina Vs Israel

Ngotot Usir Warga Gaza, Israel Minta Eropa Bikin Pulau di Laut Mediterania Buat Palestina Merdeka

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI Pulau di Laut Mediterania. Israel dilaporkan meminta Uni Eropa untuk membuat sebuah pulau di Laut Mediterania sebagai lokasi deportasi warga Gaza dan penduduk Palestina untuk mendirikan negara merdeka.

Ngotot Usir Warga Gaza, Israel Minta Uni Eropa Bikin Pulau di Laut Mediterania Buat Palestina Merdeka

TRIBUNNEWS.COM - Israel dilaporkan meminta Uni Eropa (UE) untuk membangun sebuah pulau bagi warga Palestina di Laut Mediterania,

Khaberni mengutip lansiran media Ibrani, Senin (22/1/2024), melaporkan kalau permintaan Israel ini datang seiring meingkatnya tekanan UE ke Tel Aviv untuk menurunkan eskalasi dan skala Perang Gaza.

Baca juga: Hamas Menang Lagi, Israel Tawarkan Jeda Perang Dua Bulan

UE adalah sumber utama bantuan ekonomi kepada Palestina dan memiliki perjanjian kerja sama komprehensif dengan Israel, mencakup zona perdagangan bebas.

Faktor-faktor ini disebutkan digunakan UE untuk mempengaruhi Israel agar menurunkan instensitas serangan di Gaza.

"Sebuah dokumen yang diusulkan oleh Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Josep Borrell, menguraikan serangkaian “langkah prosedural” yang diyakini mampu membawa perdamaian di Gaza," tulis laporan tersebut.

Baca juga: Pengusiran Warga Gaza Dimulai, Israel Tekan Mesir Terima Pengungsi dengan Imbalan Penghapusan Utang

Seorang anak pengungsi Palestina duduk di balik kawat berduri di bukit pasir yang menghadap ke kamp darurat di perbatasan Mesir, sebelah barat Rafah di Jalur Gaza selatan pada 14 Januari 2024, saat perang yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Hamas Palestina memasuki hari ke-100. (Photo by AFP) (AFP/-)

Hamas Tidak Disertakan

Langkah prosedural ini diyakini juga mampu mewujudkan negara Palestina merdeka, menormalisasi hubungan antara Israel dan Dunia Arab, menjamin keamanan jangka panjang di kawasan, dan berpusat pada "konferensi persiapan perdamaian".

Rencana tersebut meminta diadakannya “aktor-aktor kunci”, yaitu Uni Eropa, Amerika Serikat, Mesir, Yordania, Arab Saudi, Liga Arab, dan PBB.

Peserta akan selalu berhubungan dengan pejabat Israel dan Palestina, yang disebut sebagai “pihak-pihak yang berkonflik,” namun kedua belah pihak pada awalnya tidak diharuskan untuk duduk bersama.

Gaza dan Tepi Barat akan diwakili oleh Otoritas Palestina (PA) dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan bukan Hamas, yang telah memerintah Gaza sejak 2007.

ILUSTRASI. Kapal-kapal ditambatkan di laut Mediterania saat matahari terbenam, di lepas pantai kota pelabuhan Suriah, Tartus, pada 24 Juli 2022. (LOUAI BESHARA / AFP)

Ngotot Usir Penduduk, Minta UE Bikin Pulau

Terlepas dari segala skenario, Israel dilaporkan tetap berniat mengosongkan Gaza dari penduduknya.

Sehubungan dengan rencana perundingan di atas, para pejabat Israel berusaha meyakinkan UE untuk membangun sebuah pulau untuk warga Palestina dan mendirikan negara Palestina di sana.

"Ini merupakan upaya lemah untuk mendeportasi negara (dan penduduk) tersebut," tulis JN dalam laporannya terkait niat Israel.

Selain itu, niat Israel ini menunjukkan kalau solusi dua negara yang digaungkan oleh sekutu abadi mereka, Amerika Serikat (AS) tidak masuk hitungan pemerintahan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

Benjamin Netanyahu secara terbuka memang menyuarakan penolakannya terhadap kedaulatan Palestina selama masa jabatannya yang panjang.

Pada Sabtu (20/1/2024), Netanyahu kembali menegaskan, dia tidak akan melepaskan kendali keamanan penuh Israel di bagian barat Sungai Yordan, atau Tepi Barat.

“Saya tidak akan melepaskan kendali keamanan penuh atas sisi barat Sungai Yordan, ini bertentangan dengan pembentukan negara Palestina,” tulis Netanyahu di X.

Netanyahu pada Sabtu pagi juga membantah pernyataan dari kantornya kalau dia telah memberi tahu Presiden AS Joe Biden tentang kemungkinan pembentukan negara Palestina.

Penolakan tersebut muncul sebagai tanggapan terhadap laporan yang diterbitkan oleh CNN yang mengatakan, “Netanyahu mengatakan kepada Biden melalui panggilan telepon pribadi bahwa dia tidak menutup kemungkinan terbentuknya negara Palestina dalam bentuk apa pun.”

Presiden Amerika Serikat Joe Biden mulai kehilangan kesabaran terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Kolase Tribunnews)

Keretakan AS-Israel Makin Dalam

Namun penolakan terbuka terbaru Netanyahu terhadap negara Palestina merdeka menguak keretakan yang semakin dalam antara sekutu negara apartheid tersebut dan puncak resolusi yang telah disepakati oleh para pemimpin Barat untuk mengakhiri gerakan kolonial Zionisme.

“Perdana menteri harus mampu mengatakan tidak kepada teman-teman kita,” tambah Netanyahu, sambil mengatakan kalau dia telah mengatakan hal yang sama kepada AS saat konferensi pers pada Jumat.

Pendirian Netanyahu ini bertentangan dengan kebijakan AS yang mendukung solusi dua negara sebagai bagian dari tatanan pascaperang di Gaza dan Tepi Barat.

Meskipun secara gigih membela bombardemen Israel di Gaza, Washington mengatakan kalau persiapan untuk “the day after the war” mencakup kemajuan dalam pembentukan negara Palestina.

“Akan ada Gaza pasca-konflik, tidak ada pendudukan kembali di Gaza,” ujar Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, John Kirby, mengatakan kepada wartawan di pesawat Air Force One setelah pidato Netanyahu.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller juga mengatakan Israel kini mempunyai peluang untuk terlibat dalam gagasan negara Palestina, karena negara-negara di kawasan siap memberikan jaminan keamanan.

“Tidak ada cara untuk menyelesaikan tantangan jangka panjang [Israel] untuk memberikan keamanan abadi dan tidak ada cara untuk menyelesaikan tantangan jangka pendek dalam membangun kembali Gaza dan membangun pemerintahan di Gaza serta memberikan keamanan bagi Gaza tanpa pembentukan negara Palestina,” katanya pada konferensi pers kemarin.

Hipokrasi From The River to The Sea

Meskipun komentar Netanyahu menegaskan kembali pendiriannya, komentar tersebut memicu pertikaian sengit, terutama di media sosial.

Perdana Menteri Israel yang paling lama menjabat dan tersukses ini tidak pernah berbasa-basi mengenai penolakannya terhadap negara Palestina.

Pemimpin Partai Likud itu pernah berkata bahwa dia “bangga” telah “mencegah pembentukan negara Palestina.”

Keberatan Partai Likud terhadap negara Palestina tertuang secara jelas dalam platformnya,  “Hak orang Yahudi atas tanah Israel adalah abadi dan tidak dapat disangkal… oleh karena itu, Yudea dan Samaria tidak akan diserahkan kepada pemerintahan asing mana pun; antara Laut dan Sungai Yordan hanya akan ada kedaulatan Israel.”

Pengguna X memanfaatkan referensi Netanyahu terhadap slogan “dari sungai ke laut” untuk mengungkap standar ganda dan hipokrasi (kemunafikan) Barat dalam mencoba melarang nyanyian tersebut ketika aktivis pro-Palestina menggunakannya.

Penyair Remi Kanazi menulis:

“Warga Palestina: Dari sungai hingga laut, Palestina akan merdeka. AS: Itu antisemitisme. Netanyahu: Dari sungai hingga laut, semuanya akan menjadi Israel dan tidak akan pernah ada negara Palestina. AS: Ini $14 miliar dolar dan beberapa bom lagi untuk genosida.” 

Penulis dan presenter terkemuka Mehdi Hasan juga mengecam kemunafikan tersebut:

“Ironi sudah mati. Selama berbulan-bulan, politisi & pakar Amerika, pemimpin komunitas & pelajar Yahudi, terobsesi dengan ‘dari sungai ke laut’; mengecam Rashida Talib & menuduh aktivis pro-Palestina melakukan bahasa genosida,” tulisnya, berbagi tweet tentang komentar Netanyahu. 

 
 

 
 
 (oln/jn/memo/tc/aja/pc/*)
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini