TRIBUNNEWS.COM - Organisasi paramiliter Syiah Irak, Kataib Hezbollah, membuat keputusan mengejutkan atas sikap perang lawan pasukan Amerika Serikat (AS).
Pada Selasa (30/11/2024), organisasi yang dikenal juga bernama Brigade Hizbullah ini mengumumkan penghentian operasi melawan pasukan AS.
Sementara, mereka menegaskan tetap memberikan dukungan kepada warga Gaza korban peperangan.
Lantas apa penyebab dan bagaimana caranya?
Mulai dari penyebab Kataib Hezbollah berhenti melawan pasukan AS adalah demi kepentingan bangsa dan negara.
Media Irak, Shafaq melaporkan, sikap menghentikan serangan lawan Angkatan Darat AS yakni agar Pemerintah Irak bisa melakukan upaya diplomasi.
Dalam sebuah pernyataan, Abu Hussein al-Hamidawi, Sekretaris Jenderal Brigade, mengatakan mendukung warganya yang tertindas di Gaza.
“Brigade Hizbullah memutuskan untuk mendukung rakyat kami yang tertindas di Gaza dengan kemauan mereka sendiri, tanpa campur tangan pihak lain," jelasnya.
Selain itu, upaya penghentian perlawanan terhadap AS digunakan untuk menggambarkan sekutu militer Iran.
Menurut mereka, upaya jihad Brigade Hizbullah dilalukan untuk tekanan dan eskalasi terhadap pasukan pendudukan Amerika di Irak dan Suriah.
Al-Hamidawi mengumumkan penghentian operasi militer dan keamanan "terhadap pasukan pendudukan untuk mencegah rasa malu bagi pemerintah Irak."
Baca juga: Agar Tak Memalukan Pemerintah Irak, Kataib Hizbullah Hentikan Operasi Militer Lawan AS
Kelompok ini berjanji untuk terus mendukung rakyat Gaza.
Cara yang diambil adalah dengan merekomendasikan “pertahanan pasif” jika para pejuang kelompok tersebut “menghadapi tindakan permusuhan Amerika.”
Koalisi Milisi Irak
Koalisi milisi perlawanan Irak dilaporkan melancarkan serangan pesawat tak berawak yang menargetkan situs Israel di pelabuhan Ashdod di wilayah Palestina yang diduduki tentara Israel (IDF), Kamis (25/1/2024).
Narasumber di Irak dari laporan Al Mayadeen menyebut, serangan ke Pelabuhan Ashdod ini merupakan bagian dari fase kedua operasi koalisi milisi perlawanan Irak terhadap Israel.
Sekretaris Jenderal Kataib Sayyid al-Shuhada , Abu Alaa al-Walai mengumumkan dalam sebuah postingan di X kalau fase kedua operasi mereka mencakup juga blokade rute maritim Mediterania ke pelabuhan-pelabuhan yang diduduki Israel di Palestina yang diduduki,
Pemimpin Kataib Sayyid al-Shuhada, sebuah faksi yang beroperasi di bawah payung milisi Perlawanan Islam di Irak, membuat pengumuman tersebut menyusul serangan Amerika Serikat (AS) yang menargetkan anggota Pasukan Mobilisasi Populer (PMF) pemerintah Irak.
Baca juga: Laut Merah Makin Menyala, Milisi Irak Gabung Houthi Yaman: Adang Hingga Pelabuhan Israel Mati Total
Agresi AS menyebabkan tewasnya seorang anggota PMF di al-Qaim, sementara fasilitas pelatihan PMF di Jurf al-Nasr dirusak.
“Sementara Amerika terus menargetkan pasukan kami, mujahidin kami telah memulai operasi tahap kedua mereka,” tulis al-Walai.
Sebagai catatan, operasi tahap pertama koalisi faksi-faksi perlawanan di Irak tadinya hanya mencakup serangan terhadap pangkalan militer pendudukan AS di negara tersebut.
Mereka menilai, keberadaan pasukan AS di Irak adalah ilegal dan serangan-serangan akan terus dilanjutkan hingga tentara terakhir AS angkat kaki dari negara mereka.
AS merespons dengan melancarkan sejumlah operasi militer, termasuk menggempur markas PMF.
Bukan mereda, niat koalisi perlawanan Irak makin menjadi dan menaikkan fase operasi perang ke fase dua.
Israel, sekutu abadi AS, adalah target utama dari fase ini di mana negara pendudukan itu melancarkan agresi militer ke Gaza.
Operasi Tahap ke-2 Perlawanan Irak
Abu Alaa al-Walai menjelaskan, operasi tahap kedua akan mencakup pemberlakuan blokade terhadap “navigasi maritim Zionis di Mediterania” dan “menutup layanan pelabuhan [Israel].”
Jika digabungkan dengan operasi Angkatan Bersenjata Yaman (terafiliasi dengan kelompok Ansarallah Houti)di Laut Merah dan Laut Arab, tindakan seperti itu akan terbukti merugikan Israel.
"Perlawanan Irak telah membuktikan kalau mereka mempunyai kemampuan untuk menargetkan pelabuhan-pelabuhan pendudukan Israel yang terletak di pantai Mediterania," tulis laporan Al-Mayadeen.
Pelabuhan terbesar Israel, pelabuhan Haifa dan pelabuhan Ashdod telah diserang setidaknya dua kali pada tahun 2024.
Mengomentari serangan jarak jauh di Haifa yang diduduki, pemimpin Hizbullah Lebanon, Sayyed Hassan Nasrallah, mengatakan bahwa intelijen Hizbullah mengonfirmasi bahwa rudal tersebut mencapai sasarannya, dan menambahkan bahwa militer pendudukan Israel menyembunyikan rincian serangan tersebut, sebuah taktik yang biasa digunakan. oleh otoritas Israel.
Operasi Serangan Haifa
Perlawanan Islam di Irak mengumumkan kalau operasi penyerangan terhadap Pelabuhan Haifa tersebut dilakukan melalui rudal jelajah jarak jauh yang semua fiturnya baru dan lebih baik.
Rudal tersebut dijuluki al-Arqab.
"Serangan tersebut, yang dilaporkan mengenai sasarannya di Haifa, hanya melibatkan satu rudal, yang membuktikan kemampuan Perlawanan untuk melancarkan serangan diam-diam ke lokasi Israel, yang tidak terdeteksi dalam jarak ratusan kilometer," tulis laporan Al-Mayadeen.
Dikemas dalam serangan berskala lebih luas yang mencakup serangan drone dan rudal jarak jauh, Perlawanan Irak dapat menimbulkan kerusakan serius di pelabuhan Haifa yang diduduki dan potensial merusak pelabuhan Asdod yang diduduki.
Pengumuman yang dibuat pada Rabu (24/1/2024) pagi ini datang dalam konteks meningkatnya serangan Perlawanan Irak terhadap sasaran Israel di wilayah pendudukan.
Patut dicatat bahwa Perlawanan Irak juga telah melancarkan beberapa serangan terhadap situs-situs Israel di Golan Suriah yang diduduki dan kota pelabuhan Um al-Rashrash atau "Eilat" yang diduduki Israel.
(Tribunews.com/Chrysnha, Hasiolan)