Kewarganegaraan Israel Ditebus Nyawa, Cerita di Balik Kematian Tentara IDF Asal Filipina di Gaza
TRIBUNNEWS.COM - Kematian tentara Pasukan Pendudukan Israel (IDF) Cedrick Garin, seorang warga Filipina berusia 23 tahun, bulan lalu dalam pertempuran di Jalur Gaza bersama 20 tentara lain IDF, dilaporkan menghidupkan kembali perdebatan mengenai hak-hak pekerja asing di Israel.
Ulasan surat kabar Israel, Haaretz, menggali aspek-aspek perdebatan mengenai orang-orang yang bukan Yahudi namun kehilangan nyawa mereka dalam perang yang dilancarkan oleh pemerintah Israel yang hampir tidak mengakui keberadaan mereka.
Baca juga: Brigade Givati Tolak Perintah Operasi ke Gaza: Israel Krisis Tentara, Wajib Militer Tebang Pilih
"Bagi banyak orang macam Cedrick Garin, bergabung dengan IDF adalah solusi cepat dan optimal, sebuah pilihan yang dibuat oleh mereka atau dipaksakan oleh orangtua mereka untuk mendapatkan kewarganegaraan di sebuah negara yang mendefinisikan dirinya secara eksklusif sebagai tanah air nasional bagi orang Yahudi," Khaberni melaporkan.
Garin diharuskan bertugas di IDF untuk mendapatkan kewarganegaraan Israel.
Kematiannya memberikan kesempatan bagi orang tuanya untuk memperoleh kewarganegaraan tersebut.
Setelah kematiannya tersebut, pemerintah Israel memutuskan untuk “memberikan rasa terima kasih kepada mereka (tentara IDF dari luar Israel),” seperti yang dinyatakan oleh Benjamin Netanyahu.
Ibu Garin, Imelda, sambil menangis menyatakan kepiluannya saat pemakaman san anak.
"Apa yang harus saya lakukan dengan kewarganegaraannya sekarang setelah dia meninggal?" katanya.
Baca juga: IDF Undang Warga Israel Saksikan Penyiksaan Brutal Warga Palestina, Dimulai Saat Penonton Datang
Kisah Garin Juga Dialami Banyak Pekerja Asing di Israel
Lahir dari orang tua Filipina di Israel, Garin dibesarkan oleh seorang ibu tunggal yang bekerja sebagai petugas kebersihan sambil membesarkannya di negara asing.
"Imelda tiba di Israel pada tahun 1990-an, seperti ratusan perempuan, banyak di antaranya warga Filipina, yang didatangkan oleh agen perekrutan dengan persetujuan pemerintah untuk bekerja di sektor kesehatan," tulis ulasan laporan tersebut.
Wanita-wanita ini menikah dan melahirkan di Israel.
Namun, seringkali mereka terpaksa berpisah dengan anak-anaknya dengan mengirim mereka keluar Israel dengan ancaman pembatalan visa kerja.
Ayah Garin dideportasi dari Israel ketika dia baru berusia dua tahun.
Ayah dan anak hanya bertemu muka dua kali.
Terlepas dari tantangan-tantangan ini, Cedrick berjuang untuk mendaftar di IDF sebagai jalan praktis untuk memperoleh kewarganegaraan.
Dia akhirnya menjadi tentara di Brigade Givati.
Baca juga: Perwira Brigade Givati Israel: Tiap Hari Kami Masuk Perangkap Hamas, Banyak Kaki Tentara Diamputasi
Menjelang akhir dinasnya pada tahun 2021, ia menerima sertifikat kehormatan dari kepala Komando Selatan IDF atas pengabdiannya, dan ia diberikan kewarganegaraan Israel setelah menyelesaikan tugas militernya.
Namun, cerita hidup Garin berakhir tragis di tanah Gaza.
Dia dimakamkan di pemakaman Givat Shaul Tel Aviv pada tahun 2024.
Dia termasuk di antara 21 tentara yang tewas di Gaza ketika timnya diserang RPG, yang mengakibatkan ledakan yang meruntuhkan dua bangunan dengan tentara di dalamnya.
Baca juga: Brigade Al-Qassam Terbitkan Video yang Bikin Kaget Israel: Sekali Sergap Puluhan IDF Tewas
Insiden ini menandai peristiwa paling mematikan bagi IDF sejak invasi darat Gaza dimulai.
Rasisme Sistemik di Israel
Penderitaan pekerja asing seperti Cedrick masih menjadi isu kompleks di Israel.
Banyak dari mereka, termasuk warga Filipina, kurang mendapat pengakuan dari masyarakat dan pemerintah, meski diklasifikasikan sebagai pekerja asing dan pencari suaka.
Tantangan yang mereka hadapi, termasuk perjuangan untuk mendapatkan kewarganegaraan, bisa sangat mengejutkan jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Perlakuan pemerintah Israel terhadap para perempuan ini, yang seringkali harus berpisah dengan anak-anak mereka karena pembatasan visa, dikritik sebagai tindakan yang tidak adil.
(oln/jn/*)