TRIBUNNEWS.com - Pemuda Palestina, Ramadan Shamlakh (21), menceritakan kekejaman tentara Israel terhadap dirinya dan keluarganya.
Shamlakh mengungkapkan, pada Selasa (20/2/2024) pagi, pasukan Israel menggerebek rumah keluarganya di lingkungan Al-Zaytoun, Kota Gaza.
Saat itu, ia berada di rumah bersama ibu, saudara laki-lakinya yang terluka, dan empat saudara perempuan.
"Saat itu sekitar pukul 06.30, tentara Israel meledakkan tembok di rumah kami dan melepaskan tembakan secara acak ke arah kami."
"Mereka menyerang saya dan saudara laki-laki saya, yang menderita cedera kaki akibat serangan Israel pada 2014, secara brutal," ungkap Shamlakh kepada AlJazeera, saat ditemui di Rumah Sakit Martir Al-Aqsa di Deir al-Balah, Gaza tengah, Jumat (23/2/2024).
Saat penggerebakan itu, Shamlakh sudah mengatakan kepada tentara Israel bahwa mereka adalah warga sipil.
"Kami memberi tahu mereka bahwa kami adalah warga sipil, tapi tidak ada gunanya," sambung dia.
Tak hanya menyerang, lanjut Shamlakh, tentara Israel juga melecehkan ibu dan saudara perempuannya menggunakan "kata-kata tidak senonoh" dan "memaksa mereka melepas hijab".
Shamlakh kembali dihajar tentara Israel saat meminta ibu dan saudara perempuannya tak mendengarkan ucapan pasukan Zionis tersebut.
Kejadian selanjutnya, Shamlakh dipisahkan dari keluarganya tanpa tahu mereka dibawa ke mana.
"Tentara (Israel) menahan ibu saya, saudara perempuan saya, dan saudara laki-laki saya yang terluka, membawa mereka ke arah yang saya tidak tahu."
Baca juga: 4 Tuntutan Indonesia pada Israel di ICJ: Rezim Apartheid Melanggar Hukum Internasional
"Kemudian mereka membawa saya, memborgol saya, dan memaksa saya berjalan di depan mereka melalui tangga, untuk menggeledah lantai atas," tutur Shamlakh.
Ia menambahkan, setelahnya tentara Israel menggunakannya sebagai "tameng manusia" saat memasuki aparteman di lantai atas.
"Mereka meminta saya membuka pintu apartemen dan mereka menembak dengan keras," ungkapnya.
Penganiayaan kembali dilakukan tentara Israel terhadap Shamlakh ketika mereka tiba di lantai paling atas apartemen.
Shamlakh dipukul oleh tentara Israel menggunakan sepatu berat di bagian wajah, perut, dan matanya.
"Ada sekitar 15 tentara, dan mereka semua bergantian memukul saya menggunakan sepatu," ujar dia.
Teriakan Shamlakh tak digubris, sementara tentara Israel terus memukulinya sambil menanyakan soal terowongan Hamas dan keberadaan kelompok perlawanan Palestina itu.
Shamlakh juga dicecar pertanyaan apakah dia terlibat dalam Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023.
"Saya berulang kali menegaskan status sipil saya dan (mengatakan sudah) memisahkan diri dari Hamas, namun mereka tidak percaya dan terus memukuli saya," kisah Shamlakh.
Setelah dianiaya dan diinterogasi, Shamlakh dipaksa melepaskan pakaiannya.
Baca juga: Rasakan Dampak Boikot karena Dukung Israel, Unilever Sebut Penjualan di Indonesia Menurun
Ia dibiarkan begitu saja oleh tentara Israel dan diusir tanpa mengenakan pakaian, padahal cuaca di Gaza sedang dingin.
Shamlakh sempat bertemu tank Israel di perjalanannya dan mengangkat tangan sebagai tanda menyerah.
Meski demikian, ia sempat ditodong meriam tank oleh tentara Israel.
"Mereka menghentikan saya, menginterogasi saya sebentar, lalu melepaskan saya," ungkap Shamlakh.
Shamlakh kembali diinterogasi tentara Israel saat ia mencapai pos pemeriksaan.
Ia ditahan selama satu jam, berdiri dalam cuaca dingin dengan darah mengalir di wajahnya, sebelum diizinkan lewat.
Shamlakh yang kemudian melanjutkan perjalanannya, bertemu dengan beberapa orang dan mereka bergegas membantunya.
Mereka memberi Shamlakh pakaian dan membawanya ke RS Martir Al-Aqsa.
Hingga saat ini, Shamlakh terpisah dari keluarganya dan tak mengetahui kondisi mereka.
“Sampai saat ini, saya masih cemas untuk menghubungi keluarga saya di Gaza timur.
“Saya tidak tahu apa-apa tentang mereka, apakah mereka masih hidup atau tidak," pungkas dia.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)