TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengumumkan pengunduran diri pemerintahannya, yang memerintah sebagian wilayah Tepi Barat yang diduduki.
Mohammad Shtayyeh mengajukan pengunduran dirinya kepada Presiden Otoritas Palestina (PA) Mahmoud Abbas pada Senin (26/2/2024).
Pengunduran diri PM Palestina itu menuai tanggapan dari Amerika Serikat (AS).
AS menyambut baik keputusan pemerintah Otoritas Palestina untuk mengundurkan diri sebagai bagian dari langkah reformasi, mengingat ketidakpastian mengenai masa depan pemerintahan Gaza setelah perang.
“Pada akhirnya, kepemimpinan Otoritas Palestina adalah pertanyaan yang harus diputuskan oleh Palestina sendiri,” ungkap juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, Selasa (27/2/2024), dilansir The Times of Israel.
“Tetapi kami menyambut baik langkah-langkah yang diambil Otoritas Palestina untuk mereformasi dan merevitalisasi dirinya," sambungnya.
Miller lantas menyebut langkah tersebut sebagai langkah positif dan penting menuju pencapaian penyatuan kembali Gaza dan Tepi Barat di bawah Otoritas Palestina.
Mengingat, langkah ini dilakukan pada saat meningkatnya tekanan AS terhadap Presiden PA Mahmoud Abbas untuk merombak Otoritas Palestina, yang akan memungkinkan mereka mengambil peran lebih besar dalam memerintah Gaza pascaperang.
Upaya internasional juga semakin intensif untuk menghentikan pertempuran di Gaza dan mulai membangun struktur politik untuk memerintah wilayah tersebut setelah perang.
Alasan PM Palestina Mundur
Diberitakan Al Jazeera, PM Palestina Mohammad Shtayyeh mundur karena meningkatnya kekerasan di wilayah pendudukan dan perang di Gaza.
“Keputusan untuk mengundurkan diri diambil mengingat eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di Tepi Barat dan Yerusalem serta perang, genosida, dan kelaparan di Jalur Gaza,” kata Shtayyeh, Senin.
Baca juga: Mantan Pejabat Bank Dunia Akan Gantikan PM Palestina Mohammad Shtayyeh yang Mundur dari Kabinet
“Saya melihat tahap selanjutnya dan tantangan-tantangannya memerlukan pengaturan pemerintahan dan politik baru yang mempertimbangkan realitas baru di Gaza dan perlunya konsensus Palestina-Palestina berdasarkan persatuan Palestina dan perluasan kesatuan otoritas atas tanah Palestina," papar dia.
Sementara itu, Mahmoud Abbas telah menerima pengunduran diri Shtayyeh dan memintanya untuk tetap menjabat sebagai pengurus sampai pengganti permanen ditunjuk.
Komentar Shtayyeh muncul ketika tekanan AS terhadap Abbas semakin meningkat untuk menggoyahkan Otoritas Palestina dan mulai merancang struktur politik yang dapat mengatur negara Palestina setelah perang.
Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam beberapa kesempatan menolak seruan kepada Otoritas Palestina di bawah kepemimpinan Abbas untuk mengambil kendali negara Palestina dan memerintah Gaza.
Diketahui, Hamas menggulingkan PA di Gaza pada tahun 2007 dan telah memerintah wilayah tersebut sejak saat itu.
Di sisi lain, Netanyahu telah bersumpah untuk menghancurkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas, yang melancarkan serangan pada 7 Oktober 2023 terhadap Israel yang memicu perang saat ini.
Netanyahu menyerukan Israel untuk mempertahankan kontrol keamanan terbuka di wilayah tersebut setelah konflik, dengan pejabat Palestina bertanggung jawab atas urusan sipil.
Palestina telah menolak peran terbatas tersebut dan mengupayakan negara merdeka di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza yakni wilayah yang direbut Israel dalam perang Timur Tengah tahun 1967.
Abbas diperkirakan akan memilih Mohammad Mustafa, ketua Dana Investasi Palestina, sebagai perdana menteri berikutnya.
Mustafa adalah seorang ekonom lulusan AS yang pernah memegang posisi senior di Bank Dunia dan menjabat posisi senior di Otoritas Palestina.
Para pejabat Palestina mengatakan ia memiliki hubungan kerja yang baik dan telah terjalin lama dengan para pejabat Amerika.
Baca juga: Negara-Negara Arab dan Turki Desak ICJ Nyatakan Pendudukan Israel di Palestina Adalah Ilegal
Update Perang Israel-Hamas
Presiden AS Joe Biden mengatakan kepada wartawan dalam komentar singkatnya bahwa dia berharap “pada Senin depan kita akan melakukan gencatan senjata”.
Para dokter di Rumah Sakit al-Shifa di Kota Gaza merawat para korban di lantai setelah pasukan Israel menembaki orang-orang yang menunggu bantuan.
Hamas mengecam pemerintahan Biden karena membiarkan pengepungan Gaza dan mengatakan kelaparan di wilayah tersebut “adalah aib bagi umat manusia yang tidak akan dihapuskan oleh sejarah”.
Setidaknya 29.782 orang telah tewas dan 70.043 luka-luka dalam serangan Israel di Gaza sejak 7 Oktober 2023.
Revisi jumlah korban tewas di Israel akibat serangan 7 Oktober mencapai 1.139 orang.
(Tribunnews.com/Nuryanti)