TRIBUNNEWS.COM - Mohammad Mustafa, digadang-gadang akan menjadi Perdana Menteri Otoritas Palestina, menggantikan tugas Mohammad Shtayyeh yang mengundurkan diri pada Senin (27/2/2024).
Menurut beberapa laporan, Presiden Palestina Mahmoud Abbas diperkirakan menunjuk Mohammad Mustafa sebagai Perdana Menteri Palestina.
Mohammad Mustafa dikenal sebagai salah satu tokoh bisnis terkemuka Palestina dan sekutu langka pemimpin PA Mahmoud Abbas yang mengawasi rekonstruksi Gaza di bawah pemerintahan Hamas, dikutip dari Al Arabiya.
Ia merupakan seorang sarjana ekonom lulusan Amerika Serikat.
Mohammad Mustafa pernah mengelola perusahaan telekomunikasi Palestina Paltel dan yang terbaru adalah Dana Investasi Palestina (PIF) milik pemerintah PA.
Aset yang digunakan hampir 1 miliar dollar untuk membiaya proyek-proyek di Palestina.
Sepuluh tahun yang lalu, Mustafa ditunjuk oleh Abbas untuk membantu memimpin upaya rekontruksi di Gaza.
Apabila Mustafa menjadi PM Palestina, para pemimpin di Palestina berharap ia dapat menjadi tokoh pemersatu.
Terutama ketika ia membangun kembali daerah kantong tersebut setelah hampir lima bulan dibombardir Israel sejak serangan 7 Oktober.
PA yang diakui secara internasional, yang menjalankan pemerintahan sendiri secara terbatas di wilayah yang diduduki Israel, Tepi Barat.
Sebelumnya, Perdana Menteri Mohammad Shtayyeh mengumumkan pengunduran dirinya pada hari Senin (26/2/2024).
Langkah ini dilakukan di tengah meningkatnya tekanan AS terhadap Presiden Mahmoud Abbas untuk menggoyahkan Otoritas ketika upaya internasional semakin intensif untuk menghentikan pertempuran di Gaza dan mulai bekerja pada struktur politik untuk memerintah wilayah tersebut setelah perang.
Baca juga: Respons AS usai PM Palestina Mohammad Shtayyeh Mundur, Sebut Bagian dari Langkah Reformasi
Dengan Shtayyeh mengundurkan diri, maka kabinet persatuan Fatah dan Hamas bertemu di Moskow untuk membahas masa depan.
Sementara itu, Mustafa bukanlah anggota Fatah.
Sehingga apabila ia terpilih menjadi Perdana Menteri Palestina, maka tidak akan terjadi kontroversial.
Namun hingga saat ini, belum ada tanda-tanda kapan Mohammad Mustafa akan dipilih atau dicalonkan menjadi Perdana Menteri Palestina.
Tugas Mohammad Mustafa jika Terpilih jadi PM Palestina
Mustafa akan memiliki tugas besar saat menggantikan tugas Shtayyeh.
Tugas yang akan menjadi tanggung jawab Mustafa sebagian besar di bidang manajemen dan diplomasi.
Seperti, wilayah Gaza yang saat ini telah menyisakkan puing-puing.
Warga Gaza yang mengungsi dan membutuhkan bantuan yang menjadi fokus utama.
Hingga Tepi Barat yang terus mengalami kekerasan dan penindasan.
Ekonom Palestina Mohammad Abu Jayyab berharap Mustafa dapat menjadi penengah bagi Hamas dan Israel.
“Semua orang berada dalam krisis. Fatah berada dalam krisis di Tepi Barat dan Hamas jelas berada dalam krisis di Gaza. Mustafa, 69 tahun, bisa mewakili jalan keluar bagi keduan," katanya.
Perjalanan Karier Mustafa
Mustafa menjabat sebagai wakil perdana menteri yang bertanggung jawab atas urusan ekonomi dari tahun 2013 hingga 2014.
Saat itu, ia memimpin sebuah komite yang bertugas membangun kembali Gaza setelah perang tujuh minggu yang menewaskan lebih dari 2.100 warga Palestina.
Pada tahun 2015, Mustafa ditunjuk oleh Presiden Abbas sebagai ketua PIF.
Saat berpidato di Davos pada 17 Januari 2024, Mustafa mengatakan saat ini dampak dari agresi Israel lebih besar dibandingkan satu dekad.
Ia menggambarkan serangan Israel ini menjadi masalah yang sangat besar yang dihadapi rakyat Palestina.
“Tetapi ini juga merupakan gejala dari masalah yang lebih besar... yang telah diderita rakyat Palestina selama 75 tahun tanpa henti,” katanya.
Ia yakin Palestina akan berdiri menjadi negara sendiri.
Mustafa meminta kepada semuanya untuk mendukung ia mewujudkan itu.
“Sampai saat ini kami masih meyakini bahwa kenegaraan bagi Palestina adalah jalan ke depan, sehingga kami berharap kali ini kita bisa mewujudkannya, sehingga seluruh masyarakat di kawasan bisa hidup aman dan damai,” ujarnya.
Menurutnya, saat ini yang dibutuhkan Otoritas Palestina adalah menyediakan pemerintahan yang lebih baik.
Tujuannya adalah membuat Gaza dan Tepi Barat bersatu.
Namun menurutnya, apabila tidak ada reformasi pemerintahan, maka ini tidak akan terjadi.
"Jika kita tidak bisa menghilangkan pendudukan, tidak ada pemerintahan yang direformasi, tidak ada lembaga yang direformasi yang benar-benar dapat membangun sistem pemerintahan yang sukses, atau mengembangkan perekonomian yang baik,” katanya.
Dia mengatakan dia akan terus fokus pada upaya kemanusiaan dalam jangka pendek dan menengah.
Sebagai informasi, Mustafa lahir di kota Tulkarem, Tepi Barat, serta memiliki gelar PhD di bidang Administrasi Bisnis dan Ekonomi dari George Washington University, dan pernah bekerja di Bank Dunia di Washington.
(Tribunnews.com/Farrah Putri)
Artikel Lain Terkait Mohammad Mustafa, Konflik Palestina vs Israel