TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sedang mempertimbangkan kemungkinan untuk menghapus kabinet perang, menurut media Israel yang dikutip AlMayadeen.
Kabinet perang Israel didirikan setelah serangan 7 Oktober, beranggotakan 5 orang yaitu Netanyahu, Menteri Keamanan Yoav Gallant, pemimpin "Persatuan Nasional" Benny Gantz dan Gadi Eisenkot, serta Menteri Urusan Strategis Ron Dermer.
Kabinet perang bertugas mendiskusikan serta mengambil keputusan mengenai situasi saat ini di Gaza.
Meskipun Benny Gantz dan Gadi Eizenkot berada di pihak oposisi dalam pemerintahan, keduanya memilih untuk mengesampingkan perbedaan mereka dengan Netanyahu.
Kedua pemimpin "Persatuan Nasional" itu bertekad mendukung Netanyahu soal perang di Jalur Gaza.
Namun, kabinet perang agaknya mulai retak, terutama saat Benny Gantz pergi ke Amerika Serikat dan negara-negara barat lainnya tanpa persetujuan Netanyahu.
Tuntutan Gideon Sa'ar mengancam kelangsungan kabinet perang
Di sisi lain, pada hari Selasa (12/3/2024), pemimpin partai Harapan Baru, Gideon Sa'ar, mengakhiri kemitraannya dengan gerakan "Persatuan Nasional" pimpinan Gantz dan Eizenkot, atau yang dikenal sebagai "Kamp Negara" di kalangan Israel.
Sa'ar adalah bagian utama dari gerakan oposisi.
Keputusannya untuk memisahkan diri terjadi setelah ia menuntut untuk dimasukkan dalam kabinet perang.
Tuntutan Sa'ar mendorong Menteri Kepolisian sayap kanan Itamar Ben-Gvir untuk mengajukan tuntutan serupa, dengan harapan dapat mengubah konsep kabinet perang dan memimpin ketegasan dalam proses pengambilan keputusan.
Tetapi pada hari Rabu, Benny Gantz mengumumkan penolakannya terhadap permintaan Sa'ar gabung ke dalam kabinet perang.
Baca juga: Perpecahan di Dalam Kabinet Perang Israel, PM Benjamin Netanyahu dan Menteri Benny Gantz Tak Sejalan
Ia menyebut tuntutan itu tidak objektif dan tidak terkait dengan kepentingan "Israel".
Kubu sayap kanan Israel telah mengalami konflik besar dengan “Kamp Negara” dan partai oposisi lainnya.
Hal itu mendorong Netanyahu berada dalam situasi yang sulit, karena ia harus menyeimbangkan antara menjaga kelangsungan kabinet perang dan pemerintahan koalisi yang lebih besar.