TRIBUNNEWS.COM - Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengeluarkan tuntutan pertamanya untuk gencatan senjata di Gaza, Senin (25/3/2024).
Di DK PBB, Amerika Serikat (AS) tidak ikut serta dalam pemungutan suara atau abstain.
Julian Borger dari The Guardian menyampaikan analisisnya terkait keputusan AS yang abstain tersebut.
Abstainnya AS disebut menandai keretakan hubungan pemerintahan Joe Biden dan Benjamin Netanyahu.
Selain itu, abstainnya AS dinilai mencerminkan meningkatnya frustrasi di Washington atas desakan Netanyahu bahwa pasukan Israel akan terus melancarkan serangan di Rafah, dan terus menerusnya hambatan Israel dalam pengiriman bantuan kemanusiaan.
Meskipun resolusi tersebut menuntut gencatan senjata sementara selama sisa bulan suci Ramadhan, resolusi itu harus mengarah pada gencatan senjata yang berkelanjutan.
Dalam amandemen terakhir yang diminta oleh AS, kata “abadi” diganti dengan “permanen”, yang ditentang oleh Rusia.
Upaya Rusia untuk mengembalikan kata “permanen” dikalahkan oleh 11 suara berbanding tiga suara.
Resolusi Gencatan Senjata di Gaza
Dewan Keamanan PBB telah menyerukan gencatan senjata segera di Gaza, setelah AS tidak memveto tindakan tersebut, yang merupakan perubahan dari posisi sebelumnya.
Diberitakan BBC, DK PBB juga menuntut pembebasan segera dan tanpa syarat seluruh sandera.
Baca juga: AS Tak Veto Resolusi DK PBB, Netanyahu Marah: Delegasi Israel Batal ke Washington
Ini adalah pertama kalinya DK PBB menyerukan gencatan senjata sejak perang dimulai pada Oktober 2023, setelah beberapa upaya gagal.
Sementara, tindakan AS ini menandakan semakin besarnya perbedaan pendapat antara Amerika dan sekutunya Israel mengenai serangan Israel di Gaza.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, John Kirby, mengatakan keputusan AS untuk membiarkan resolusi tersebut disahkan tidak berarti "perubahan dalam kebijakan kami”.
Ia mengatakan, AS mendukung gencatan senjata tetapi tidak mendukung resolusi itu, karena resolusi tersebut tidak mengutuk Hamas.