Penahanan di Saudi baru-baru ini termasuk juga ditatahannya seorang eksekutif di sebuah perusahaan yang terlibat dalam rencana transformasi ekonomi Visi 2030 kerajaan tersebut – yang merupakan landasan agenda Putra Mahkota Mohammed bin Salman – menurut orang-orang di dalam dan di luar Arab Saudi yang mengetahui masalah tersebut.
"Tahanan tersebut mengungkapkan pandangannya mengenai konflik Gaza yang dianggap oleh pihak berwenang sebagai provokasi," kata mereka.
Seorang tokoh media yang mengatakan Israel tidak boleh dimaafkan juga telah ditangkap, kata sumber tersebut, begitu pula seseorang yang menyerukan boikot terhadap restoran cepat saji Amerika di kerajaan tersebut.
"Kementerian Dalam Negeri Saudi dan Komisi Hak Asasi Manusia pemerintah tidak menanggapi permintaan komentar," klaim Bloomberg dan TBS melansir disclaimer pemberitaan mereka.
Narasumber yang mengetahui pemikiran pemerintah Saudi mengakui penangkapan tersebut dan menghubungkannya dengan apa yang disebutnya sebagai tingkat kewaspadaan yang tinggi pasca-serangan 7 Oktober.
"Pihak berwenang berniat mencegah warga membuat komentar dan pernyataan online tentang perang yang mungkin berdampak pada keamanan nasional," kata sumber tersebut.
Tokoh dan aktivis oposisi Saudi pada hari Kamis berada di AS untuk mengadakan konferensi terbesar mereka sejak pembunuhan kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi, orang dalam istana kerajaan yang menjadi kritikus, oleh agen-agen Saudi pada tahun 2018.
Mereka mengagendakan mengungkap apa yang mereka sebut sebagai "visi rakyat" untuk kerajaan yang mengutamakan kebebasan berpendapat dan pembebasan seluruh tahanan politik.
Baca juga: Pemukim Israel Mulai Bangun Pemukiman Baru di Lembah Yordan, Arab Saudi Tambah Ilfil Normalisasi?
Serius Mau Normalisasi
Penangkapan oleh Pemerintah Arab Saudi atas postingan terkait Gaza dinilai menunjukkan kalau rezim Pangeran Mohammed akan mengambil tindakan keras terhadap warga negara yang tidak mematuhi aturan dalam menormalisasi hubungan dengan Israel.
Normaliasai adalah sebuah topik yang sedang dikerjakan kerajaan tersebut dengan AS sebelum peristiwa 7 Oktober mengacaukan situasi.
Riyadh dan Washington melanjutkan pembicaraan mereka mengenai pakta pertahanan dan kerja sama AS dalam meluncurkan program nuklir sipil awal tahun ini, dan, jika kesepakatan tercapai, Israel akan diundang untuk bergabung dengan pakta tiga arah atau berisiko tertinggal.
Sejak 7 Oktober, Arab Saudi telah melancarkan kritik dan kecaman keras Israel atas perangnya di Gaza dan menuntut gencatan senjata segera, sambil menunjukkan bahwa mereka tetap terbuka untuk hubungan yang lebih hangat jika Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menarik pasukannya dan berkomitmen pada pembentukan negara Palestina.
Namun, hasil yang terakhir ini masih jauh dari harapan, terutama ketika koalisi sayap kanan Netanyahu masih berkuasa.
"Tindakan keras terhadap sentimen pro-Palestina di media sosial mungkin merupakan tanda bahwa Riyadh serius dalam melakukan normalisasi dengan Israel," kata Jane Kinninmont, pakar Teluk yang merupakan direktur kebijakan dan dampak di European Leadership Network.
“Jika mereka ingin mengubah kebijakan mereka dan pergi mengunjungi Israel dan meminta warga Israel datang ke Riyadh, ketika perang terlihat berbeda, maka mereka tidak ingin ada gerakan pro-Palestina yang memprotes tindakan semacam itu. hal itu," katanya.
(oln/blmbrg/tbs/*)