Mereka saat ini tinggal di tenda-tenda, tempat perlindungan yang dibangun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan apartemen yang penuh sesak.
Para pengungsi itu amat bergantung pada bantuan makanan yang dikirimkan oleh organisasi internasional dan yang lainnya.
Amerika Serikat (AS) yang menjadi sekutu dekat Israel sudah berulang kali menegaskan tidak mendukung rencana serangan besar Israel ke Rafah.
Di sisi lain, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pekan lalu mengatakan akan tetap menyerbu Rafah guna melenyapkan Hamas.
Adapun mengenai perundingan gencatan senjata, Gallant mengklaim tidak menunjukkan keseriusan.
Gallant juga memperingatkan bahwa operasi militer besar akan segera dilakukan di Rafah
Di Rafah, warga Palestina mendapatkan selebaran berbahasa Arab yang isinya meminta mereka untuk mengungsi. Terdapat rincian mengenai zona kemanusiaan yang bisa ditinggal untuk sementara.
Setelah mendapat selebaran itu, mereka berkumpul untuk membahas langkah yang akan diambil.
Baca juga: Hamas Tidak akan Bisa Dikalahkan dalam Dua Hingga Tiga Tahun ke Depan, Kata Sumber Militer Israel
Mereka mengaku enggan mengungsi sendirian sehingga memilih mengungsi secara berkelompok.
“Ada banyak di sini yang mengungsi dan kini mereka harus berpindah lagi, tetapi tak ada yang akan tingga di sini karena tidak aman,” kata seorang warga bernama Nidal Azaanin kepada Associated Press.
Israel sudah memulai operasi
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant sudah berbicara kepada Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengenai serangan IDF ke Rafah.
Kepada Austin, Gallant mengatakan pihaknya telah memulai operasi militer di kota itu.
Gallant mengklaim Israel sudah melakukan banyak upaya agar sandera bisa dibebaskan dan gencatan senjata sementara bisa terwujud.
Namun, kata Gallant, Hamas menolak semua usulan yang mengarah kepada dua hal itu.
Dia kemudian mengatakan Israel tak punya pilihan selain menginvasi Rafah.
Selanjutnya, dia berterima kasih kepada Austin atas kerja sama antara Israel dan AS.
(Tribunnews/Febri)