TRIBUNNEWS.COM - Prospek gencatan senjata perang Israel dan kelompok militan Hamas di Gaza tampaknya diprediksi buntu.
Kedua belah pihak saling menyalahkan atas kebuntuan tersebut.
Delegasi Hamas memilih untuk meninggalkan perundingan gencatan senjata di Kairo pada Minggu (5/5/2024) malam dan berniat untuk berkonsultasi dengan para pemimpinnya.
Di Kairo, Hamas menegaskan kembali tuntutannya untuk mengakhiri perang dengan imbalan pembebasan sandera.
Sedangkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan tegas mengesampingkan hal itu.
Dua sumber keamanan Mesir mengungkapkan para pejabat Hamas berencana untuk kembali ke ibu kota Mesir pada hari Selasa (7/5/2024).
“Putaran mediasi terakhir di Kairo hampir gagal," kata pejabat mengenai perundingan di Kairo kepada Reuters.
Netanyahu hari Minggu (5/5/2024) kemarin kembali menegaskan tentang tujuan Israel sejak dimulainya perang hampir tujuh bulan lalu.
Yakni untuk melucuti senjata dan membubarkan milisi Palestina Hamas demi kebaikan atau membahayakan keamanan masa depan Israel.
Para pejabat Israel belum melakukan perjalanan ke Kairo untuk mengambil bagian dalam diplomasi tidak langsung.
Hari kedua perundingan gencatan senjata dengan mediator Mesir dan Qatar, mediator Hamas mempertahankan pendirian mereka bahwa perjanjian gencatan senjata harus mengakhiri perang.
Baca juga: Persiapan Invasi Darat, Israel Perintahkan Evakuasi 100 Ribu Warga dari Rafah Timur
Perdana Menteri menekankan Israel bersedia menghentikan pertempuran di Gaza, tapi harus ada jaminan pembebasan sandera yang masih ditahan oleh Hamas.
Diyakini tawanan di Gaza berjumlah lebih dari 130 orang.
“Meski Israel telah menunjukkan kesediaannya, Hamas tetap mempertahankan posisi ekstremnya," kata Netanyahu.
"Pertama di antaranya adalah tuntutan untuk menarik seluruh pasukan kami dari Jalur Gaza, mengakhiri perang, dan membiarkan Hamas tetap berkuasa,” jelas Netanyahu.
“Israel tidak bisa menerima hal itu," tegasnya.
Gallant: Hamas tidak serius
Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant mengatakan Hamas tampaknya tidak serius untuk mencapai gencatan senjata.
“Kami mengamati tanda-tanda mengkhawatirkan bahwa Hamas tidak berniat mencapai kesepakatan dengan kami,” kata Gallant.
“Ini berarti aksi militer yang kuat di Rafah akan dimulai dalam waktu dekat, dan juga di seluruh wilayah Jalur Gaza," jelasnya.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis tak lama setelah Netanyahu, Ketua Hamas, Ismail Haniyeh mengatakan kelompoknya masih ingin mencapai gencatan senjata komprehensif yang mengakhiri “agresi” Israel.
Hamas juga meminta agar Israel menjamin penarikan pasukan dari Gaza, dan mencapai kesepakatan “serius” untuk membebaskan warga Israel yang disandera. sebagai imbalan atas pembebasan tahanan Palestina.
Baca juga: Kecam Seruan Israel Evakuasi Warga dari Rafah Gaza, Hamas: Eskalasi Berbahaya yang Punya Konsekuensi
Haniyeh menyalahkan Netanyahu atas “berlanjutnya agresi dan perluasan lingkaran konflik, serta menyabotase upaya yang dilakukan melalui mediator dan berbagai pihak”.
Perang Israel-Hamas dimulai setelah kelompok militan yang menguasai Gaza menyergap Israel dengan serangan lintas batas pada 7 Oktober.
Akibatnya 1.200 orang tewas dan 252 sandera, menurut penghitungan Israel.
Lebih dari 34.600 warga Palestina telah terbunuh, 29 di antaranya tewas dalam 24 jam terakhir, dan lebih dari 77.000 orang terluka dalam serangan Israel, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Pengeboman tersebut telah menghancurkan sebagian besar wilayah pesisir dan menyebabkan krisis kemanusiaan.
Serangan darat Rafah
Selama berbulan-bulan, Israel telah memperingatkan akan mengirim pasukan ke Rafah.
Rafah merupakan kota selatan yang berbatasan dengan Mesir, di mana lebih dari satu juta warga Gaza yang mengungsi berlindung.
Israel yakin ribuan pejuang Hamas bersembunyi di kota itu, bersama dengan puluhan sandera.
"Serangan seperti itu akan membahayakan ratusan ribu nyawa dan menjadi pukulan besar bagi operasi bantuan di seluruh wilayah kantong tersebut," kata kantor kemanusiaan PBB pada hari Jumat (3/5/2024).
Warga dan pejabat kesehatan di Gaza mengatakan pesawat dan tank Israel terus menggempur wilayah kantong Palestina sepanjang malam, menewaskan dan melukai beberapa orang.
Beragam upaya untuk menghentikan perang Israel-Hamas di Gaza masih berlanjut.
Bahkan yang terbaru, Kepala Badan Intelijen Pusat (CIA) Amerika Serikat (AS), William Burns bertandang ke Doha dan mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Qatar, Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani.
Seorang sumber yang mengetahui agenda tersebut mengatakan pada hari Minggu (5/5/2024) bahwa pertemuan tersebut bertujuan untuk menekan Israel dan Hamas agar melanjutkan negosiasi.
Direktur CIA berangkat ke Qatar di tengah kebuntuan perundingan gencatan senjata Israel-Hamas.
Putaran terakhir perundingan antara mediator dan kelompok militan Palestina berakhir di Kairo pada hari Minggu, sementara Israel dan Hamas secara terbuka saling menyalahkan atas kegagalan mencapai kesepakatan.
Qatar, yang menjadi tuan rumah kepemimpinan politik Hamas sejak tahun 2012 dengan restu dari Washington, juga merupakan rumah bagi pangkalan militer AS terbesar di wilayah tersebut.
Pemimpin tertinggi sayap politik Hamas berbasis di Qatar, NHK melaporkan.
Sejauh ini, Qatar, bersama dengan Amerika Serikat dan Mesir telah terlibat dalam negosiasi di belakang layar selama berbulan-bulan, menengahi perundingan gencatan senjata Israel-Hamas, Hindustan Times melaporkan.
Prospek gencatan senjata di Gaza semakin menipis setelah Hamas meningkatkan tuntutannya agar Israel menghentikan perang dengan imbalan pembebasan sandera.
Sayangnya, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu menampik permintaan tersebut, dikutip dari Reuters.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)