TRIBUNNEWS.COM - Eks Komandan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Aviv Kochavi memberikan pernyataan soal kegagalan Israel dalam upaya membunuh petinggi Hamas.
Diketahui Kochavi bahkan mundur dari jabatannya, lantaran kegagalan tersebut.
Kochavi mundur sekitar 9 bulan sebelum operasi militer Banjir Al-Aqsa dilancarkan oleh Perlawanan Palestina, pada 7 Oktober 2023.
Kochavi mengakui sangat sulit untuk memburu Yahya Sinwar, yang juga dikenal sebagai pemimpin gerakan Perlawanan Palestina Hamas di Gaza.
Tidak hanya Yahya, tapi juga Mohammed Al-Deif, Panglima Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas.
Awalnya Kochavi mengakui bahwa Israel menganggap Iran sebagai ancaman nyata, dan tidak menganggap Gaza sebagai potensi bahaya, mengutip Palestine Chronicle.
“Kami tidak menganggap Gaza sebagai ancaman nyata,Iran adalah prioritas utama kami,” katanya.
Namun, Kochavi mengatakan bahwa pada tahun 2021, IDF melihat perubahan dalam Hamas dan menunjukkan bahwa sesuatu yang baru sedang terjadi.
Mantan kepala staf Israel itu juga menyebut kesadaran ini mengarah pada keputusan pembunuhan Sinwar dan al-Deif.
“Kami mencoba (membunuh Sinwar dan al-Deif, dan itu sulit," ujarnya.
Kawasan Gaza yang padat penduduk membuat IDF sulit untuk menemukan petinggi Hamas dan Al-Qassam tersebut.
Baca juga: Rudal Israel Keok Dihantam Pertahanan Suriah, Ditembak Jatuh saat Targetkan Damaskus
"Di daerah padat penduduk dan banyak bangunan, hal ini sangat sulit dilakukan. Jadi kami telah bekerja selama berbulan-bulan untuk (melaksanakan) operasi tersebut, namun kami tidak bisa,” kata Kochavi.
Update Korban di Gaza
Israel masih terus menggempur Jalur Gaza sebagai pembalasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Serangan brutal Israel tersebut banyak menewaskan warga sipil Gaza, mengutip Anadolu Agency.
Sebanyak 34.900 warga Palestina telah terbunuh di Gaza, sebagian besar di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Dan 78.500 lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan Palestina.
Lebih dari tujuh bulan setelah perang Israel, sebagian besar wilayah Gaza hancur.
Dan mendorong 85 persen penduduk daerah kantong tersebut mengungsi di tengah blokade makanan, air bersih, dan obat-obatan yang melumpuhkan, menurut PBB.
(Tribunnews.com/Garudea Prabawati)