Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, RAFAH – Sedikitnya 45 orang dilaporkan tewas sementara 249 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan yang dilakukan militer Israel ke kamp pengungsian warga yang berada di Tal as-Sultan, Rafah.
Tak lama setelah serangan terjadi, warga yang ada di sekitar kamp melaporkan telah menemukan sebuah pecahan peluru berdiameter kecil yang disinyalir digunakan militer Israel untuk menggempur Rafah.
Temuan tersebut kemudian diverifikasi oleh para pakar senjata sekaligus mantan perwira artileri Angkatan Darat Inggris, Chris Robb Smith.
Dalam laporannya Smith menyebut bahwa amunisi yang digunakan militer Israel untuk mengebom kamp Rafah merupakan bom jenis GBU-39 buatan Boeing.
Baca juga: Apa yang Terjadi dengan Rafah? Viral Seruan All Eyes on Rafah, 200 Orang Tewas dalam Serangan Israel
GBU-39 sendiri merupakan amunisi berpresisi tinggi yang didesain untuk menyerang target penting yang strategis. Meski ukurannya kecil, namun senjata ini bisa menimbulkan risiko tinggi jika digunakan menyerang daerah padat.
“Menggunakan amunisi apa pun, bahkan sebesar ini, akan selalu menimbulkan risiko di daerah padat penduduk,” kata Cobb-Smith, sebagaimana dikutip dari CNN Internationa.
Hal senada juga dilontarkan oleh Trevor Ball, mantan anggota senior penjinak bom Angkatan Darat AS. Setelah melakukan identifikasi serpihan pecahan bom itu, Trevor Ball yakin bahwa amunisi yang digunakan Israel merupakan hulu ledak GBU-39.
Ada sejumlah faktor yang membuat Trevor Ball percaya bahwa senjata tersebut merupakan GBU-39 Boeing, yakni karena hulu ledak (amunisi) bagian pemandu dan sayapnya sangat unik dibandingkan dengan amunisi lain.
Dimana pada bagian pemandu dan sayap amunisi seringkali tak hancur, bahkan setelah amunisi diledakkan. terlihat ekor dan langsung mengetahui bahwa itu adalah salah satu varian SDB/GBU-39.
Tak hanya itu Ball juga menyimpulkan bahwa amunisi yang digunakan Israel merupakan GBU-39 yang dikenal sebagai Focused Lethality Munition (FLM) yang memiliki daya ledak lebih besar namun dirancang untuk menimbulkan kerusakan tambahan yang lebih kecil.
“Bagian hulu ledak (amunisi) berbeda serta bagian pemandu dan sayapnya sangat unik dibandingkan dengan amunisi lain. Bagian pemandu dan sayap amunisi seringkali tak hancur, bahkan setelah amunisi diledakkan. Saya melihat bagian ekor dan langsung mengetahui bahwa itu adalah salah satu varian SDB/GBU-39,” jelas Ball.
Pihak AS hingga kini masih bungkam apabila ditanya terkait kebenaran isu penggunaan amunisi buatan negaranya yang digunakan Israel untuk melakukan genosida.
Amerika Jadi Pemasok Utama Senjata Israel
Selama puluhan tahun Amerika Serikat (AS) diketahui menjadi penyokong utama pendanaan militer Israel dalam setiap perang melawan musuh-musuhnya.
Tak tanggung – tanggung untuk membantu pertahanan Israel, setiap tahunnya negeri Paman Sam ini menyumbangkan bantuan militer senilai 3,8 miliar dolar AS atau setara Rp 60,27 triliun.
Amerika juga turut memasok 21.000 amunisi peluru artileri berukuran 155 mm, ribuan amunisi penghancur bunker dan 200 drone kamikaze serta bom presisi Spice Family Gliding Bomb Assemblies dengan nilai 320 juta dolar atau setara Rp5 triliun untuk Israel.
Baru – baru ini Amerika juga turut memesan pesawat tempur tambahan untuk memperkuat skuadron A-10, F-15 dan F-16 di pangkalan militer Israel.
Menurut catatan The Washington Post, sejak perang Gaza pecah pada 7 oktober silam, Amerika Serikat setidaknya telah menyetujui 100 perjanjian senjata dengan pendudukan Israel.
Bila di total maka bantuan pertahanan yang diberikan Amerika ke Israel sejak tahun 1946 hingga 2023 telah mencapai 124 miliar dolar AS atau Rp 1.966,48 triliun, sebagaimana dikutip dari data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
AS mengklaim penjualan peluru tank kepada Israel merupakan bentuk dukungan untuk kepentingan keamanan Timur Tengah dari ancaman Hamas. Namun tindakan ini mendapat sorotan negatif dari sejumlah pihak.
Para aktivis hak asasi manusia bahkan menyatakan keprihatinannya atas penjualan tersebut, mereka menyebut tindakan Amerika tidak sejalan dengan upaya Washington untuk menekan Israel agar meminimalkan korban sipil di Gaza. Justru transfer senjata dapat memperparah perundingan damai yang sedang diusahakan.